Urgensi RUU Masyarakat (Hukum) Adat - Seputar Sumsel

Sabtu, 09 Oktober 2021

Urgensi RUU Masyarakat (Hukum) Adat

Oleh : Bustaman al Rauf 

Sejak pengesahan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous People/UNDRIP) pada Tanggal 13 September 2007, Indonesia belum memiliki UU Masyarakat Adat. 



Menurut Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, red) belum lama ini melalui webinar bertajuk Menyongsong Pengesahan RUU Masyarakat (Hukum) Adat sebagai Hak Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengatakan bahwa prosedur pengakuan masyarakat adat dalam RUU Masyarakat Adat (draf versi DPR) lebih sulit dari kebijakan K/L yang berlaku saat ini. Sementara itu, Abdi Akbar yang juga Direktur Politik PB AMAN mengatakan bahwa mengapa RUU Masyarakat Adat harus dibahas dari awal dan bukan termasuk RUU yang dilanjutkan proses pembahasannya.

Prof. Maria SW Sumadjono, Pakar Hukum Agraria UGM, mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat masih melanggengkan sektoralisme karena tidak menyebut secara jelas di mana tanah ulayat, hak masyarakat adat.  Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan bahwa penting adanya sebuah lembaga independen untuk menghindari sektoralisme dalam pengaturan masyarakat adat.

Sedangkan, Sulaeman L. Hamzah, yang juga Koordinator pengurus RUU Masyarakat Adat DPR RI, mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat merupakan kelanjutan, yang kemudian diakomodir Baleg dengan carry over dari draf yang sudah ada, dibahas ulang, dan diperkaya lagi.

Willy Aditya sebagai Ketua Panja Penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Badan Legislasi (Baleg), dalam diskusi daring bertema Bahu-Membahu dalam Mempercepat Pengesahan RUU MHA untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, Ekonomi dan Ekologi di Indonesia, mengatakan bahwa narasi Masyarakat Hukum Adat versus pembangunan atau korporasi besar. Panja RUU MHA di Baleg sudah menyelesaikan tugasnya sejak 4 September 2020, sudah bersurat kepada pimpinan sebanyak 3 kali agar RUU MHA diparipurnakan. Setiap paripurna diinterupsi kenapa RUU MHA tidak pernah diparipurnakan. 

Sementara itu, Devi Anggraini yang menjabat sebagai Ketua Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan bahwa tidak antipati pada pembangunan asalkan ada kebermanfaatan bagi masyarakat adat itu. Tapi yang dikritisi adalah prosesnya yang seringkali tidak melibatkan masyarakat adat secara utuh. Pembangunan didukung asalkan ada perannya bagi kemajuan. Misalnya dilibatkan untuk berperan dalam pembangunan tersebut sesuai dengan yang mereka bisa dan memang perlu dilakukan.

Situasi dimana korporasi mengeksploitasi sumber daya alam hingga merusak lingkungan dan menggusur Masyarakat Adat yang menggunakan ruang hidup sepenuhnya pada lingkungan hidup sampai pada tahap krisis yang menyebabkan timbulnya korban konflik sumberdaya di sepertiga wilayah Indonesia. Ratusan konflik sumberdaya alam di areal lahan seluas 2,1 juta hektar dan 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut di Tahun 2018 menunjukkan bahwa krisis ini semakin meluas. Kemudian terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumber daya pada Tahun 2019. Krisis yang dihadapi Masyarakat sekarang ini dimasa pandemi menyentuh tidak hanya secara struktural tetapi juga keseluruhan aspek kehidupan Masyarakat.

Masyarakat adat memiliki peranan penting dalam menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektar. Praktik Masyarakat Adat dengan kearifan lokalnya mampu menjaga alam atau hutan tetap lestari. Praktik menjaga hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dapat menghentikan penurunan tutupan hutan dan pengurangan deforestasi (kontribusi sebesar 34,6% dari pemenuhan target Nationally Determined Contribution Indonesia). Sehingga seluruh stakeholders harus bersinergi bekerjasama dalam penyelamatan hutan di wilayah adat (863 peta Wilayah Adat dengan luas 11,09 juta hektar) sejalan dengan komitmen Pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Menurut penulis apabila RUU Masyarakat Hukum Adat tidak diparipurnakan segera, dikhawatirkan akan menjadi krisis adanya kekosongan atau ketiadaaan sistem administrasi Masyarakat Adat, Wilayah Adat dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan hakikat dari hak dan jaminan atas hak serta perencanaan pembangunan. Keberhasilan Masyarakat Adat menyuarakan kepentingannya di forum Internasional dan perjuangan Masyarakat Adat di dalam pertemuan global, merupakan indikasi penting yang patut menjadi perhatian bersama khususnya Pemerintah dikarenakan realisasi dukungan Pemerintah terhadap deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat belum ada yaitu UU Masyarakat Adat. Hal ini dapat dimanfaatkan pihak yang bersebrangan dengan Pemerintah dan mengaitkannya dengan isu Hak Asasi Manusia.

Secara konstitusi keberadaan masyarakat adat diakui, tetapi dikarenakan adanya kekosongan atau ketiadaan administrasi masyarakat adat, tidak dapat mendukung Kebijakan Satu Peta dalam artian wilayah adat tidak terintegrasi dengan Peta Tematik Wilayah Adat dalam geoportal sehingga tidak ada data atau informasi tentang masyarakat adat dan wilayah adat di Kementerian dan Lembaga Pemerintah. Hal ini berujung hak-hak yang dapat diterima oleh masyarakat adat dapat tercederai.

Dalam rangka memajukan kemandirian masyarakat ddat yang didasari atas perlindungan dan pengakuan wilayah adat dan peranan penting yang telah dilakukan oleh masyarakat adat dalam kelestarian lingkungan maka suara dan kepentingan Masyarakat Adat merupakan yang utama. Sehingga dalam formulasi RUU Masyarakat (Hukum) Adat harus partisipatif, tidak semu, dengan melibatkan seluruh pihak. Selain itu juga memperhatikan pembatasan waktu dalam formulasi kebijakan agar tidak menimbulkan masalah dalam implementasinya.

Tampaknya, melihat sangat penting dan strategisnya regulasi terkait masyarakat adat ini, maka menurut penulis, DPR RI melalui Komisi III bersama Pemerintah untuk dapat segera mengesahkannya.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya dan regulasi. Tinggal di Pidie Jaya, Aceh.


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda