Mahupiki Terus Optimalkan Sosialisasi KUHP Nasional - Seputar Sumsel

Kamis, 19 Januari 2023

Mahupiki Terus Optimalkan Sosialisasi KUHP Nasional

Oleh : Bagas Adrian Nathaniel )*

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional melalui sidang paripurna yang digelar pada Selasa (06/12/2022) lalu. Sebagai informasi, sistem hukum asli buatan anak bangsa itu terdiri dari sebanyak 37 bab dan ada sebanyak 624 pasal. Meski telah resmi disahkan, KUHP Nasional sendiri akan benar-benar mulai berlaku secara menyeluruh setelah 3 tahun terhitung sejak awal pasca pengesahannya, yakni pada tahun 2025 mendatang.

Tidak bisa dipungkiri bahwa KUHP Nasional memang sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia, karena kelahirannya merupakan sebagai bentuk upaya reformasi hukum pidana nasional, sekaligus juga mampu mereformasi hukum pidana nasional agar lebih sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

Selama masa transisi ini, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) berkomitmen untuk mengoptimalkan sosialisasi mengenai KUHP Nasional kepada seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Bukan tanpa alasan, pasalnya kelahiran KUHP Nasional sendiri merupakan tanggung jawab dari seluruh pihak tanpa terkecuali, termasuk pada kalangan akademisi, pakar hukum hingga para praktisi serta masyarakat pada umumnya.

Dalam acara sosialisasi KUHP Nasional yang diselenggarakan di Hotel Mercure Pontianak, Kalimantan Barat ini, Guru Besar Fakultas Hukum Pidana Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Pujiyono yang menjadi salah satu narasumber menyampaikan bahwa ada beberapa alasan penting terkait pembaharuan sistem hukum pidana di Tanah Air tersebut.

Menurutnya, dalam hukum pidana sendiri terdapat dua inti, yakni norma dan value, sehingga hendaknya masyarakat jika ingin mengkritik harus memahami Buku I terlebih dahulu. Karena jika bicara terkait Buku II, tentu tidak bisa dilepaskan dari Buku I. Selain itu, menurut Prof. Pujiyono, sejatinya seluruh hal yang diatur dalam KUHP Nasional sudah sangat demokratis.

Selain itu, terkait penyampaian pendapat melalui aksi demonstrasu, ia mengungkapkan bahwa aksi demo bisa dipidana ketika tidak ada izin dan merusak. Karena sejatinya demonstrasi sendiri merupakan hak untuk melakukan kontrol kepada negara, namun juga harus memperhatikan ketertiban masyarakat sehingga jangan sampai ada kerusuhan. Apa yang diatur dalam KUHP baru sudah sangat demokratis dan tidak ada niat untuk membungkam kebebasan berpendapat.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. R Benny Riyanto menyebutkan bahwa proses public hearing telah dilakukan dalam penyusunan sistem hukum asli buatan anak bangsa itu. Menurutnya, sosialisasi menjadi sangat penting untuk mengisi masa transisi 3 tahun setelah pengesahan KUHP Nasional kepada masyarakat, supaya mampu memberikan pemahaman yang lengkap.

Selama ini Indonesia menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, bahkan sampai detik ini masih diberlakukan karena walaupun UU No. 1/2023 sudah diundangkan, namun masih ada masa transisi 3 tahun. Tujuan dari adanya masa transisi adalah untuk memberikan pemahaman yang lengkap kepada seluruh stakeholder, khususnya para penegak hukum dan akademisi-akademisi. Sehingga konsep KUHP baru ini harus terus disosialisasikan. Selain itu, ada beberapa amanah untuk dilaksanakan di dalam peraturan pelaksananya, baik itu dalam PP maupun Perda.

KUHP Nasional juga dinilai sudah aman dari syarat formil sehingga mampu menjawab kritik dari masyarakat yang seolah menganggap pembentukannya terburu-buru. Disisi lain, sebenarnya KUHP sudah pernah disahkan oleh Komisi III, untuk kemudian disahkan pada Sidang Paripurna pada bulan September 2019, namun karena pro dan kontra KUHP masih kencang, sehingga Presiden Jokowi sangat bijak dan meminta supaya penetapan RUU KUHP pada sidang paripurna untuk ditunda terlebih dahulu untuk menampung masukan-masukan dari masyarakat yang dianggap belum clear.

Menurutnya, urgensitas perlunya KUHP Nasional dilahirkan karena terjadi perubahan paradigma keadilan retributif, yang konsepnya ada pada KUHP lama. Pergeseraan itu kepada tiga hal, yakni keadilan korektif pada pelaku supaya tidak mengulanginya, keadilan restoratif untuk korban supaya segera mengentaskan dirinya pada trauma, dan keadilan rehabilitatif untuk keduanya baik korban maupun pelaku kejahatan.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso juga menegaskan bahwa terdapat tiga bagian paling penting dalam KUHP Nasional, yakni tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Seluruhnya akan mempengaruhi banyak hal lain dalam KUHP Nasional. Dalam KUHP lama belum dijelaskan dan diatur secara sistematis mengenai tindak pidana. Namun dalam KUHP Nasional dijelaskan bahwa tindak pidana adalah sebuah perbuatan yang sifatnya melawan hukum dan oleh living law juga dilarang.

KUHP baru menganut prinsip adanya asas bahwa tidak boleh orang dihukum tanpa adanya kesalahan. KUHP baru juga menegaskan bahwa pada asasnya, hanya orang yang sengaja saja yang bisa dihukum. Oleh karena itu penting untuk diperiksa apakah orang itu melakukan sengaja atau tidak meskipun kata itu sudah tidak dicantumkan lagi.

Selain itu, KUHP baru juga menyesuaikan perkembangan yang terjadi pada perubahan hukum di dunia, sehingga ada tindak pidana yang pelakunya tidak memiliki kesalahan namun bisa dihukum, akan tetapi sebagai pengecualian tertentu dan harus ditulis dengan jelas, yang penting semua unsurnya telah terpenuhi dan harus sangat eksplisit disebutkan dalam UU.

)* Penulis adalah kontributor Kawiwara Pustaka

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda