Gerakan Separatis Papua Sulit Diwujudkan - Seputar Sumsel

Sabtu, 04 Februari 2023

Gerakan Separatis Papua Sulit Diwujudkan

Oleh : Rebecca Marian )*

Secara de facto dan de jure, Papua merupakan salah satu wilayah yang tergabung dalam Indonesia. Maka dari itu, pemerintah Indonesia berhak melarang siapapun atau kelompok manapun yang berusaha untuk memisahkan diri dari Indonesia, apalagi jika hal tersebut dilakukan dengan aksi terror dan separatis di kalangan masyarakat. Hingga saat ini, di Papua masih sering terjadi konflik terkait persoalan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang kompleks.

Gerakan separatis bukan hal yang baru di Papua, pendahulu dari OPM dan KKB bahkan sudah eksis sejak tahun 1940-an. Pada masa pendudukan Jepang, di Papua (1942 – 1946) ada gerakan separatis yang bernama Koreri dengan pimpinannya, Angganitha Menafaur. Dia menjuluki dirinya sendiri sebagai ‘Ratu Emas dari Judea’ dan mengklaim dirinya sebagai nabi perempuan titisan Manseren Manggoendi.

Pada mulanya, gerakan ini merupakan gerakan kebatinan biasa, kemudian menjelma menjadi gerakan kemerdekaan yang sifatnya etnonasionalis politis akibat pengaruh dari militansi rekan seperjuangan Menafaur, Stephanur Simopyaref. Simopyref bertekad untuk menyatukan segenap suku dan klan Melanesia ke dalam satu pandangan nasionalisme bangsa Papua.

Meskipun pada tahun 1942 perlawanan gerakan Koreri ini ditumpas oleh Jepang dengan terbunuhnya 500 – 600 orang dan Menafaur selaku pimpinan gerakan ditahan dan dibawa ke Manokwari, Simopyaref kemudian membangkitkan semangat idealism kemerdekaan bangsa Papua melalui misi penyelamatan Menafaur.

Perlawanannya itu ditandai dengan penginstruksian untuk menyusun tentara, armada dan masyarakat dengan cara mengibarkan bendera Belanda secara terbalik dengan tambahan bintang laut putih atau sampari di latar biru yang diklaim sebagai bendera Koreri.

Lebih jauh, dirinya juga mengklaim jika bendera tersebut merupakan wahyu langsung yang diberikan oleh Manseren Mangoendi kepada Menafaur sendiri. Pada pertengahan tahun 1942, setelah terjadi serangkaian dialog dan kontak senjata secara sengit antara tentara Jepang dan kubu Simopyaref, Simopyaref kemudian berhasil ditangkap oleh tentara Jepang dan dibawa ke Manokwari. Di Manokwari itulah dirinya bertemu dengan Menafaur dan diancam hukuman mati oleh tentara Jepang.

Meskipun tertangkapnya dua gembong gerakan Koreri, namun gelora kemerdekaan bangsa Papua terlanjur dikumandangkan oleh Simopyaref dalam wadah bernama gerakan Koreri tersebut.

Setelah Indonesia dinyatakan ‘hampir’ merdeka dari penjajahan, perjalanan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri menemui babak baru. dalam sidang BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 10 – 11 Juli 1945, status dan kepastian Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia menjadi topik perdebatan yang cukup alot di antara para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam pandangan tiga tokoh yakni Moh. Yamin, Kahar Muzakkar, dan Soekarno, strategi geopolitik Indonesia mengharuskan Papua agar masuk dan terintegrasi dengan Indonesia. meskipun secara etnografis bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia.

Soekarno dalam forum tersebut bahkan membawa sisi historis dalam argumennya. Dia mengutip manuskrip kronik jaman Majapahit yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Nagarakertagama. Dalam Nagarakertagama, disebut jika Papua ternyata masuk ke dalam wilayah kerajaan Majapahit.

Tak berhenti di situ, bahkan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, dunia internasional pun masih melakukan intervensi. Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan bangsa Indonesia, namun Papua masih di bawah naungan kerajaan Belanda secara administratif kala itu. Belanda yang sudah terlalu lama mengeruk kekayaan alam di tanah Papua merasa perlu memberikan ‘politik balas budi’ nya di Papua dengan memberikan kebebasan bagi bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Misi moril dekolonisasi pemerintah Belanda ini bertujuan untuk menyiapkan kemerdekaan Papua sebagai negara sendiri di bawah naungan Belanda.

Kemudian, negara bangsa Papua yang dipersiapkan kolonial Belanda tersebut dinamai Papua Barat atau West Papua. Bintang Kejora yang merupakan bendera nasional negara Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961 pun dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan dihadapan mahkota kerajaan Belanda.

Peristiwa tersebut kemudian tersebar cepat hingga ke pusat pemerintahan Indonesia. presiden Soekarno lewat pidato Tri Komandor Rakyat (Trikora) pada tanggal 19 Desember 1961 di alun-alun Yogyakarta kemudian mengobarkan semangat untuk mengembalikan Irian Barat (West Papua) ke Indonesia dari skenario pembentukan negara boneka akal-akalan Belanda. Pada awal tahun 1962, pasukan Indonesia kemudian mulai melancarkan operasi pembebasan Irian Barat tersebut.

Pada bulan Maret 1962 di tengah memanaskan konflik yang terjadi antara Belanda dan Indonesia terkait Papua, Amerika Serikat kemudian mengintervensi dan mengajukan usulan mengenai penyelesaian persoalan Papua Barat kepada PBB. Usulan tersebut akhirnya ditindaklanjuti dengan New York Agreement yang dikeluarkan pada tanggal 15 Agustus 1962.

Kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi beberapa hal. Yang pertama yakni Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Kedua, UNTEA terhitung tanggal 1 Mei 1962, menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Terakhir, pada akhir 1969, dibawah pengawasan PBB, dilakukan Act of Free Choice bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.

Berkaca pada sejarah panjang gerakan separatis Papua tersebut maka gerakan separatis Papua tidak mendapat tempat dan sulit diwujudkan. Masyarakat Papua pun diimbau untuk mewaspadai berbagai intervensi asing yang ingin memisahkan Bumi Cenderawasih dari Indonesia tercinta.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda