Menangkal Radikalisme dengan Pendidikan
Oleh : Alif Fikri )*
Radikalisme masih menjadi momok yang menakutkan di Indonesia, apalagi kelompok radikal bekerja dengan cara gerilya, terutama di media sosial. Untuk menangkal radikalisme maka perlu dilakukan dengan pendidikan anti radikalisme dan terorisme.
Indonesia adalah negara demokrasi tetapi ada kelompok radikal dan teroris yang berusaha menegakkan khalifah dan menggusur pancasila. Perbuatan mereka tidak bisa dibenarkan dan mereka dianggap sebagai penghianat negara. Namun para teroris makin berulah, dan pada tanggal 25 Oktober 2022 ada anggota kelompok radikal yang nekat menyerang dengan senjata api, di depan Istana Negara.
Serangan teroris mengejutkan karena sudah beberapa bulan kondisi Indonesia tenang, tanpa ada serangan atau ancaman bom dan senjata api. Ketika ada penyerangan maka ada peringatan bahwa pemberantasan radikalisme harus lebih serius lagi. Jangan sampai radikalisme dan terorisme menggerogoti pikiran masyarakat, terutama anak-anak muda, karena mereka adalah calon pemimpin di masa depan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan bahwa radikalisme dengan berbagai ancamannya harus lebih diwaspadai. Radikalisme adalah paham di mana yang benar adalah ideologinya sendiri. Untuk menangkal radikalisme maka caranya dimulai dari lembaga pendidikan.
Dalam artian, tiap lembaga pendidikan harus mengajarkan materi mengenai anti radikalisme dan penanaman pancasila. Jika anak-anak diajari cara menangkal radikalisme dan mengenali ciri-ciri terorisme sejak kecil, maka mereka akan paham dan tidak terkena bujukan kelompok teroris. Apalagi saat ini kelompok radikal dan teroris menyebar di dunia maya dan mencari kader-kader baru yang berusia muda.
Untuk menanamkan anti radikalisme di lembaga pendidikan maka perlu ada materi pengenalan radikalisme dan cara mengatasinya, di kurikulum terbaru. Para murid tidak hanya belajar tentang tanggal-tanggal penting dalam sejarah Indonesia. Namun mereka juga belajar mengapa Indonesia menjadi negara demokrasi, bukan liberal atau radikal.
Demokrasi menjadi paham yang sangat cocok diterapkan di Indonesia karena rakyat diberi kesempatan untuk bersuara dan menyanggah ketika ada peraturan yang dirasa kurang tepat. Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak suku, latar belakang, dan keyakinan yang berbeda, yang disatukan dalam nasionalisme. Perbedaan dalam demokrasi tidak dipermasalahkan, karena saling menghormati satu sama lain.
Jika para murid belajar bahwa sejak merdeka tahun 1945 Indonesia adalah negara demokrasi, maka mereka paham bahwa radikalisme salah besar. Penyebabnya karena kelompok radikal tidak pernah ikut berjuang dalam melawan penjajah di masa kolonial. Namun mereka masuk ke Indonesia dan seenaknya sendiri ingin menghapus demokrasi, dan mendirikan negara khilafah.
Para murid akan memahami mengapa khilafah yang dibanggakan oleh kelompok radikal tidak bisa diaplikasikan di Indonesia, karena tidak cocok dengan kondisi masyarakat yang majemuk. Khilafah hanya cocok untuk negara yang masyarakatnya homogen, seperti di kerajaan-kerajaan di Timur Tengah. Namun untuk negara yang pluralis seperti Indonesia, tidak akan cocok.
Kemudian, para murid juga belajar cara mengenali ciri-ciri kelompok radikal. Misalnya selalu membanggakan khilfah dan mengembuskan janji surga. Mereka juga cenderung tertutup, kaku, dan menyalahkan pemerintah (apapun peraturannya akan dimaki-maki). Kelompok radikal juga memberontak dan ada yang tidak percaya akan pandemi dan vaksinasi.
Sementara itu, cendekiawan Nazzarudin Umar menyatakan bahwa tidak ada radikalisme dalam sejarah. Penyebabnya karena nabi sendiri tidak pernah melakukan pemaksaan dan kekerasan seperti yang dilakukan oleh kelompok radikal. Dalam artian, kelompok radikal tidak bisa lagi berdalih ajarannya benar, karena tidak pernah dilakukan oleh nabi yang selalu berkata lemah-lembut.
Seorang guru seharusnya mengajarkan anti radikalisme di sekolah, dengan menceritakan dakwah nabi yang anti kekerasan, sehingga beliau tidak bisa dikaitkan dengan kelompok radikal dan teroris. Selama ini, yang dilakukan oleh kelompok radikal salah besar karena memaksakan kehendak. Mereka juga melakukan berbagai kekerasan dan ancaman dengan senjata api, bahkan pengeboman.
Jika para murid diceritakan seperti itu maka mereka paham bahwa tidak ada hubungan antara radikalisme dengan sejarah keyakinannya. Kelompok radikal salah karena melakukan kekerasan, yang tidak sejalan dengan hukum negara maupun hukum agama.
Para murid akan paham mengenai bahaya radikalisme dan ciri-cirinya maka mereka tidak akan mudah terbujuk oleh bualan kelompok radikal dan teroris. Kelompok radikal yang sudah memiliki banyak akun di sosial media, gagal mendapatkan kader-kader baru dari kalangan anak muda. Para murid mengenali akun media sosial teroris lalu melaporkannya ke polisi siber dan BNPT.
Untuk menangkal radikalisme maka caranya dengan menambah kurikulum anti radikalisme di tiap lembaga pendidikan, sejak tingkat terendah sampai tertinggi. Para murid wajib diajari cara mengenali kelompok radikal dan teroris, dan cara menghindarinya. Mereka akan jadi anti radikal dan melaporkan kelompok teroris tersebut, agar dibekuk oleh polisi siber.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute