Politik Uang Jelang Pemilu 2024 Ancam Demokrasi Indonesia
Oleh : Stefanus Putra Imanuel )*
Seluruh pihak harus mampu dengan tegas menolak adanya praktik politik uang, lantaran hal tersebut tentu akan sangat mengganggu iklim dan sistem demokrasi yang selama ini sudah berjalan di Indonesia sehingga membuat NKRI akan sulit untuk berkembang.
Hal-hal mengenai politik uang (money politics) memang akan selalu menjadi sebuah topik bahasan yang hangat bahkan bagi berbagai macam kalangan, khususnya dalam setiap momen diskusi, mulai dari tokoh pengama politik, para akademisi, aktivis pegiat Pemilu hingga aktivis pegiat anti korupsi.
Meski begitu, ternyata sebagian besar masyarakat umum sendiri juga masih belum banyak yang memahami secara lengkap apa sesungguhnya yang disebut dengan politik uang tersebut. Lantaran memang sejauh ini tidak ada definisi yang benar-benar baku terkait dengan praktik politik uang sendiri, namun biasanya istilah ini digunakan untuk menyatakan adanya sebuah praktik terkait korupsi politik hingga pembelian suara.
Politik uang sendiri merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan bahwa politik uang ini sebagai upaya tindakan jual-beli suara pada proses politik dan juga kekuasaan. Bahkan, tindakan demikian bisa saja terjadi dalam jangkauan yang lebar, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan umum (Pemilu) di suatu negara.
Upaya untuk mempengaruhi orang lain dengan menggunakan sejumlah imbalan yang bersifat materi dapat juga diartikan sebagai jual-beli suara, yang mana hal ii dilakukan pada proses politik dan kekuasaan serta termasuk pada tindakan membagi-bagikan uang, baik itu milik pribadi ataupun partai untuk mempengaruhi suara para pemilih.
Apalagi, menjelang gelaran pesta demokrasi Pemilu di Indonesia pada tahun 2024 mendatang, maka menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi, dirinya mendeteksi bahwa praktik politik uang bisa saja kembali terjadi pada Pemilu 2024 mendatang.
Bukan tanpa alasan, menurut Nurul bahwa hal itu berdasarkan dari temuan data yang termuat dalam Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya temuan uang ilegal hingga triliunan rupiah yang masuk ke Tanah Air. Dengan adanya temuan data tersebut, sehingga dirinya tegas mengaku bahwa memang dalam Pemilu 2024 berpotensi untuk kembali terjadinya praktik politik uang.
Terkait adanya temuan data tersebut, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) Puadi menyampaikan bahwa sangat penting untuk diadakannya pembentukan kelompok masyarakat supaya bisa tersadar mengenai bagaimana bahayanya praktik politik uang. Maka dari itu, pihak Bawaslu melakukan pembentukan Kampung Anti-Politik Uang yang diharapkan dapat terus memperkokoh komitmen masyarakat di dalamnya untuk bisa menolak tegas praktik politik uang dalam gelaran Pemilu.
Lebih lanjut, Puadi menyatakan bahwa dengan adanya Kampung Anti-Politik Uang yang dibentuk oleh Bawaslu ini mampu memunculkan karakter masyarakat yang memiliki kesadaran politik tinggi untuk bisa benar-benar mewujudkan demokrasi di Tanah Air dengan bersih dan bermartabat.
Anggota Bawaslu RI itu juga mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa praktik politik uang ini bukanlah hanya menjadi musuh besar bagi pelaksanaan demokrasi yang baik saja, namun juga menjadi musuh besar bagi pembangunan di suatu negara.
Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof. M. Noor Harisudin menyampaikan bahwa terus berupaya untuk menolak adanya praktik politik uang dalam keberlangsungan Pemilu di Indonesia. Dirinya bahkan mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bisa semaksimal mungkin memberikan edukasi kepada masyarakat, dengan menggandeng para mahasiswa dan juga civil society lainnya dalam melakukan pencegahan akan adanya praktik haram itu.
Bahkan bukan hanya sekedar menolak tegas adanya praktik politik uang, namun Prof. Harisudin juga mengaku bahwa sangat perlu adanya pencegahan sedini mungkin, yang mana bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah melalui sosialisasi, pengawasan yang partisipatif, patroli pengawasan, penegakan hukum dan juga tindak pencegahan lainnya.
Pada kesempatan lain, Direktur Politik Dalam Negeri Direktoral Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Pol &PUM) Kemendagri, Syarmadani menjelaskan bahwa praktik politik uang akan menggerus demokrasi, keadilan dan juga kesempatan yang sama bagi seseorang untuk bisa mengurus negara.
Parahnya lagi, menurutnya bahkan politik uang berpotensi untuk menumbangkan demokrasi karena terkesan bahwa para politisi mendapatkan bekal dari para pemodal dan tentunya berbiaya tinggi sehingga para akhirnya para pemodal akan meminta ganti rugi.
Tentunya, keberlangsungan iklim dan sistem demokrasi yang ada di Indonesia dan sudah terjalin selama ini akan sangat terganggu apabila praktik politik uang masih saja terus dilakukan, uatamanya tatkala menjelang adanya Pemilu di tahun 2024 mendatang. Maka dari itu seluruh pihak harus mampu bersatu dan menolak dengan tegas adanya praktik demikian demi keberlangsungan iklim demokrasi di Indonesia dengan jauh lebih baik lagi.
)* Penulis adalah kontributor Citaprasada Institute