Pakar Ajak Perkuat Tameng Pancasila, Cegah Benturan Idoologi Pada Dinamika Perpolitikan Imdonesa
Jakarta – Menjelang Pemilu 2024, sejumlah pihak dari pakar hingga pemerintah menyoroti masalah-masalah yang perlu menjadi perhatian bersama. Salah satunya terkait daya lentur Pancasila.
Pemerhati isu strategis nasional dan global, Prof. Dubes Imron Cotan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?" yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023), berpendapat, Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Sebagaimana pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, agar semua pihak meninggalkan politik pecah belah. Imron juga menekankan imbauan bakal calon presiden Ganjar Pranowo agar para calon presiden tidak saling menjelekkan satu sama lain.
“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila di dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga. Ini adalah peringatan bagi kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq mengutarakan pada kontks peradaban terdapat siklus 100 tahun. Di mana selama 78 tahun Indonesia Merdeka, Indonesia masih memiliki sisa waktu 22 tahun dari sekarang untuk menuntaskan perjalanan besar sejarah 100 tahun.
"Bangsa kita akan menjadi negara tidak hanya kuat ekonominya, tetapi disegani secara politik sebagai negara maju di dunia," ujar Mahfudz.
Mahfudz mencatat terdapat tiga tantangan pokok yang dihadapi ideologi Pancasila.
"Pertama, tantangan untuk mengeliminasi kontradiksi sikap, perilaku, dan tindakan terhadap ajaran Pancasila. Misal, perilaku koruptif, LGBT, dan liberalisasi budaya. Tantangan kedua yaitu menguatkan visi kolektif bangsa menuju kekuatan baru di dunia tahun 2045. Tantangan ketiga, mengembangkan ketahanan nasional dalam konteks menghadapi dinamika global. Caranya dengan tidak menjadi proxy atau bagian dari kekuatan global," sambungnya.
Mahfudz menjelaskan ancaman utama ideologi Pancasila ialah proxy dari kekuatan global dalam perang asimetris. Kemudian, arus liberalisasi dalam trend open society. Ancaman lainnya ialah industrialisasi politik.
"Banyaknya konsultan politik, lembaga survei, itu yang membuat adrenalin politik banyak pihak naik, sehingga yang tidak pernah masuk dalam organisasi politik dan tidak memiliki ideologi, terjebak dalam permainan politik tak bervisi dan membuat demokrasi kita menjadi Wani Piro," papar Mahfudz.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto, juga berpesan pentingnya netralitas ASN yang banyak diuji. Menurut Agus, politik di Indonesia kerap menyeret-nyeret ASN.
"Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam," pungkasnya.
Agus menyoroti adanya data dari Bawaslu, yang mengungkap dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).
"Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan," tambahnya.
Maka, pihaknya mengajak agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam pemilu.
“Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik," tutupnya.
*