Waspada Provokator Demo UU Cipta Kerja
Oleh : Anindira Putri Maheswani )*
Konferederasi Serikat Pekerja Indonesia berencana melakukan demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Juni 2023. Aksi tersebut tentu saja perlu diwaspadai karena rentan disusupi provokator dan justru berakhir anarkis yang banyak merugikan masyarakat.
UU Cipta Kerja sudah disahkan tanggal 21 Maret 2023. UU ini mengatur banyak bidang, termasuk ketenagakerjaan. Dalam UU ini, para pegawai boleh bekerja lembur. Ketika sudah bekerja bertahun-tahun, akan mendapat bonus tahunan dari perusahaan. Jika dirumahkan, mereka bisa mendapat pesangon minimal 1 kali gaji.
Sayangnya UU Cipta Kerja mendapat penolakan dari banyak orang, terutama buruh dan mahasiswa. Mereka menilai bahwa pasal lainnya merugikan, karena tak ada lagi Upah Minimum Kota, padahal tetap ada, hanya istilahnya diganti jadi Upah Minimum Provinsi. Mereka berdemo untuk menentang UU ini, padahal masyarakat tidak bersimpati karena rawan ditunggangi provokator.
Pada demo UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu di Bengkulu, ada 4 orang yang diamankan dalam unjuk rasa. Koordinator Lapangan (Korlap) aksi Arca Wijaya menyatakan bahwa mereka adalah M Riski Zaidan, M Akmal Hidayatullah, Tri Mutaqim, M Rizky.
Sementara Kapolres Kota Bengkulu, Kombes Pol Aris Sulistyono membenarkan bahwa ada yang diamankan pasca kericuhan terjadi. Ia menyebut pemicunya diduga kesalahpahaman antara mahasiswa dan orang luar yang menyusup. Dalam artian, yang ditangkap adalah para penyusup alias provokator, bukan mahasiswa.
Demo UU Cipta Kerja sangat rawan provokator. Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, mengatakan bahwa provokator adalah musuh dalam demo buruh. Dalam artian, para buruh wajib mewaspadai ada provokator yang menyusup dan mereka sengaja menunggangi acara itu, dengan maksud-maksud tertentu.
Provokator akan sengaja menghasut para buruh dalam berbuat kerusakan, misalnya dengan membakar ban dan merusak fasilitas umum. Demo yang berawal dengan damai bisa berakhir ricuh, bahkan bisa memicu kerusuhan. Jika ada kerusuhan dan tawuran maka bisa dimanfaatkan provokator untuk makin menggalang massa dan menggerakkannya untuk mendekat ke gedung DPRD.
Dikhawatirkan, ada provokasi seperti ini yang berujung pada ‘nostalgia’ peristiwa tahun 1998. Padahal keadaannya sangat berbeda. Jika dulu massa berdemo dan menggulingkan kekuasaan karena Orde Baru sudah terlalu lama berdiri, maka sekarang temanya adalah protes gaji buruh. Namun bisa saja tema demo dibelokkan karena bisikan setan dari para provokator.
Provokator bisa memancing di air keruh dan terus mengompori para pendemo untuk menghujat pemerintah lalu merusak fasilitas-fasilitas umum. Jika kekacauan terjadi maka juga dikhawatirkan ada pencurian massal, karena keadaan sudah penuh emosi. Kota bisa membara gara-gara demo buruh yang terus dihasut oleh para provokator jahat.
Oleh karena itu aparat menjaga jangan sampai ada kemungkinan buruk seperti ini. Penyebabnya karena akan sangat merugikan masyarakat dan juga pemerintah, karena akan ada banyak fasilitas umum yang rusak. Padahal untuk membangunnya kembali butuh biaya yang sangat besar, tetapi para buruh tidak mau bertanggungjawab sama sekali.
Untuk mencegah terjadinya kerusuhan karena demo buruh maka sejak awal aparat menegaskan tidak akan memberi izin pada unjuk rasa tersebut. Jika para pendemo masih nekat maka akan dihalau. Selain karena berkerumun dan harus dibubarkan, massa memang wajib dipecah agar demo dibatalkan.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan bahwa masyrakat harus waspada akan demo UU Cipta Kerja karena bisa jadi ada provokator yang menyusup yang memprovokasi banyak orang saat demo.
Seharusnya semua pihak bisa menyampaikan aspirasi tanpa harus demo. Pasalnya, saat ini perekonomian Indonesia tengah bangkit akibat diterpa Pandemi Covid-19 sehingga stabilitas keamanan mutlak diperlukan. Di sisi lain, demonstrasi rawan disusupi provokator yang justru dapat memicu hal-hal yang tidak diinginkan.
Masyarakat mendukung penangkapan provokator karena ia menghasut massa untuk merangsek ke depan dan melanjutkan demo. Padahal sudah jelas tidak ada izinnya, sehingga wajar jika acara ini dibubarkan. Jika provokator tidak ditangkap maka dikhawatirkan keadaan akan makin panas dan akan terjadi kerusuhan serta pelemparan batu.
Oleh karena itu, provokator langsung ditangkap, untuk tindakan preventif. Bisa jadi mereka yang jadi penghasut bukanlah mahasiswa, melainkan oknum yang menyaru, sehingga menyebabkan keadaan saat demo makin panas. Jangan sampai unjuk rasa diboncengi oleh pihak lain yang memiliki kepentingan politis tertentu, karena bisa dibelokkan jadi aksi yang membahayakan.
Provokator juga masih diinterogerasi, apa benar mereka berstatus mahasiswa atau hanya orang suruhan. Interogerasi penting untuk mengetahui, siapa di balik aksi tersebut. Jangan sampai ada yang jadi dalang dan tertawa-tawa, sementara pendemo yang menjalankan aksinya. Tindakan ini tentu tidak benar, karena akan menghapuskan perdamaian di Indonesia.
Demonstrasi UU Ciptaker rawan disusupi provokator yang justru dapat memperkeruh situasi dan membuat pesan aksi tidak tersampaikan. Rencana aksi demonstrasi pun sebaiknya dibatalkan dan disalurkan melalui kanal hukum yang selama ini telah tersedia.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute