Aksi Demo Buruh Tidak Relevan, UU Cipta Kerja Terbukti Lindungi Buruh
Oleh : Ridwan Putra Khalan )*
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada saat pembacaan putusan hasil sidang mengenai uji materi UU Cipta Kerja pada 2 Oktober mendatang sama sekali bukanlah hal yang relevan. Pasalnya, justru dengan adanya ketentuan tersebut mampu memberikan perlindungan kepada para pekerja atau buruh sendiri dalam menghadapi segala jenis dinamika yang terjadi.
Diketahui bahwa Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan menggelar sebuah aksi massa secara besar pada saat sidang putusan diumumkan oleh MK mengenai uji materi terhadap UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yakni pada Senin, 2 Oktober 2023.
Terkait hal tersebut, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengemukakan bahwa Gedung MK akan menjadi lautan manusia, dimana sejumlah besar massa akan menggelar aksi, yang mana mereka berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Mereka mengklaim bahwa aksi tersebut akan mempertaruhkan nasib dari para buruh ke depannya.
Padahal, justru sebenarnya seluruh tindakan, termasuk juga aksi demonstrasi yang hendak digelar oleh para buruh itu sama sekali sangatlah tidak relevan dan sejatinya sama sekali tidak perlu untuk dilakukan, apalagi sampai membawa sejumlah massa yang besar yang justru berpotensi untuk mendatangkan banyak hal yang negatif termasuk seperti tindak provokasi atau anarkisme.
Selain itu, secara substansial pun apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pekerja dan buruh dalam aksi demonstrasi tersebut juga sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bagaimana tidak, pasalnya UU Cipta Kerja sendiri merupakan sebuah upaya dari Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk bisa menyejahterakan para pekerja atau buruh di Tanah Air.
Sehingga bagaimana klaim mereka bahwa seolah-olah akan terus bergerak dalam mempertaruhkan nasib dari para buruh ke depannya supaya menjadi lebih baik, seluruhnya sudah terjawab dalam pengesahan peraturan yang putusannya akan diumumkan oleh pihak MK.
Kemudian dalam ketenagakerjaan sendiri, dengan adanya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja tersebut juga merupakan bukti nyata dan hasil konkret dari komitmen kuat Pemerintah RI untuk terus memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja dan juga keberlangsungan usaha demi menjawab tantangan akan bagaimana terjadinya perkembangan dinamika ketenagakerjaan.
Mengenai hal tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah mengatakan bahwa substansi akan ketenagakerjaan sendiri yang sudah diatur dalam UU Cipta Kerja yang baru disahkan dan akan diumumkan oleh MK itu memang pada dasarnya sudah merupakan hasil penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, yakni pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dengan adanya penyempurnaan akan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja itu merupakan sebuah ikhtiar atau upaya dari Pemerintah RI untuk bisa memberikan secara adaptif bagi para pekerja atau buruh sehingga mereka menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis di jaman sekarang ini.
Beberapa poin yang disempurnakan dari ketentuan Cipta Kerja sebelumnya adalah, pertama yakni mengenai ketentuan alih daya (outsourcing). Karena ternyata jika dilihat pada UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang lama, sama sekali tidak diatur akan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
Jelas sekali sangat berbeda jika dibandingkan dengan keberlakuan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja jenis pekerjaan alih daya dibatasi. Sehingga, dengan adanya pengaturan tersebut, maka tidak semua jenis pekerjaan bisa dapat diserahkan begitu saja kepada pihak perusahaan outsourcing.
Maka, dengan adanya pengaturan yang jelas itu, maka jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdatakan akan diatur dengan jauh lebih jelas dan ketat melalui penerbitana peraturan pemerintah.
Kemudian untuk poin kedua dari nilai positif akan pengesahan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja adalah adanya penyempurnaan dan penyesuaian akan penghitungan upah minimum, yang mana upah minimum akan dihitung dengan cara mempertimbangkan pada bagaimana pertumbuhan ekonomi, inflasi dan juga indeks tertentu.
Pada ketentuan akan UU Cipta Kerja yang baru, ditegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) serta dapat pula menetapkan upah minimum UMK apabila misalnya hasil penghitungan akan UMK ternyata lebih tinggi daripada UMP, sehingga dari aturan itu, Gubernur diberikan kewenangan untuk bisa menetapkan UMK.
Selanjutnya, untuk poin ketiga akan bagaimana upaya dari Pemerintah RI untuk memberikan penegasan terkait dengan kewajiban untuk menerapkan struktur dan juga skala upah oleh pihak pengusaha untuk para pekerja atau buruh yang telah memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Sudah jelas sekali bahwa Pemerintah RI sangat berpihak kepada para pekerja atau buruh dengan berupaya untuk terus meningkatkan kesejahteraan mereka, melalui penerbitan dan pengesahan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja karena di dalamnya telah memberikan banyak perlindungan kepada para buruh, utamanya dalam menghadapi bagaimana dinamika ketenagakejeraan terjadi.
)* Penulis adalah Kontributor Ruang Baca Nusantara