Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tolak Intoleransi, Pemilu Demokratis Harus Dikelola dengan Baik

Oleh : Dwi Cahya Alfarizi )*

Demi mewujudkan perdamaian, kesejahteraan, dan ketentraman pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 mendatang, ancaman intoleransi dapat kita hadapi dengan mengelola pemilu yang demokratis. Proses demokrasi haruslah dikelola dengan baik, sebab salah satu ancaman perpecahan dari intoleransi yang menjadi bibit-bibit dari radikalisme.

Konstetasi pemilu tahun 2024 mendatang perlu diwaspadai dengan betul-betul dan tak boleh diindahkan begitu saja, pasalnya pendapat di seluruh penjuru Indonesia tidak semuanya sama. Negara kita tercinta, Indonesia memang lahir dari masyarakat yang bersifat heterogen yakni memiliki berbagai keberagaman mulai dari budaya, bahasa, suku, agama, hingga rasnya. Pun demikian dengan pendapat serta pemikiran yang mereka miliki juga terdapat perbedaan satu sama lain. Namun, bagaimanapun juga kita juga memiliki ideologi bangsa yakni Pancasila. Meskipun kita ada perbedaan semua, tetapi kita tetaplah satu.

Perbedaan yang signifikan merupakan hal yang amat sangat wajar, terlebih di negara yang memiliki keberagaman luas seperti Indonesia. Dengan adanya perbedaan tersebut juga ancaman seperti intoleransi dan radikalisme juga pasti akan muncul mengikuti, terlebih lagi memang akan diadakan pemilihan umum yang melibatkan ratusan juta jiwa rakyat Indonesia. Potensi-potensi tersebut bisa diminimalisir atau bahkan dihindari dengan berbagai upaya yang ditawarkan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Rycko Amelza Dahniel menyebutkan bahwa faktor intoleransi adalah bibit utama dari radikalisme, kalau tidak dikelola dengan baik nantinya akan ada friksi-friksi di masyarakat. Mengacu pada hasil survei Litbang Kompas pada tahun 2023, menunjukkan bahwa intoleransi menempati posisi pertama yang menjadi faktor penyebab polarisasi masyarakat menjelang Pemilu 2024 mendatang. Faktor intoleransi ini memang sangat perlu diwaspadai, sebab hoax, politik pemecah belah, dan lain sebagainya akan turut mengikuti di belakang.

Merujuk pada survei tersebut, hasil survei menunjukkan sebanyak 56 persen dari total responden merasa khawatir terhadap polarisasi politik saat Pemilu 2024 mendatang, kemudian sebanyak 27,1 persen responden menilai bahwa sikap saling tidak menghargai (intoleransi) merupakan sumber utama terjadinya polarisasi ketika pemilu. Bukan hanya itu saja, faktor lainnya yang menjadi pemicu dari polarisasi politik berasal dari media sosial melalui berita hoaks (bohong) yang dipresentasekan sebanyak 22 persen. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat harus meningkatkan kembali rasa toleransi dan menjaga rasa tersebut agar perpecahan tidak terjadi di masyarakat.

Lebih lanjut, Rycko menjelaskan bahwa adanya intoleransi yang menyebar di Indonesia ini tumbuh dari hasil gerakan ideologi yang dilakukan oleh akar-akar sel teroris yang dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur. Bersama hal tersebut, mantan Kalemdiklat Polri itu menyebut ada mekanisme yang dapat memerangi intoleransi. Dimulai dari pemerintah, tokoh agama, akademisi, media, hingga masyarakat seluruhnya bersama-sama membangun kesadaran diri dan ketahanan nasional. Bukan hanya itu saja, untuk menciptakan pesta demokrasi yang mengandung perdamaian bagi seluruh masyarkat ini juga harus diciptakan pula iklim demokrasi yang sehat. Seluruh pihak harus terlibat untuk membangun kesadaran tersebut.
    
Selain itu, seluruh masyarakat Indonesia juga perlu membangun serta meningkatkan penguatan toleransi di masyarakat. Salah satu cara untuk menanggulangi intolernasi yang tersebar di masyarakat yakni dengan menggunakan moderasi beragama. Masyarakat perlu mengetahui secara baik makna dari moderasi itu sendiri. Apabila sudah memahami moderasi tersebut, barulah rasa-rasa toleransi itu nantinya akan muncul dengan sendirinya. Keduanya tak dapat dipisahkan, karena dengan adanya moderasi beragama juga seseorang akan memahami dan menghargai perbedaan yang ada.

Moderasi beragama merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi intoleransi yang terjadi di masyarakat. Namun, sebelum membahas moderasi beragama lebih lanjut, apakah masyarakat sudah mengetahui arti dari moderasi beragama itu sendiri? Disebutkan bahwa moderasi beragama adalah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, moderasi beragama meyakini kebenaran agama sendiri dan menghargai serta menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka tanpa harus membenarkan atau menyalahkannya.

Sebagai masyarakat yang baik, perlu adanya literasi dan pemahaman yang mendalam terkait dengan demokrasi serta hal-hal yang dapat mengancam perpecahan bangsa. Pemilu 2024 memiliki potensi yang besar dalam hal intoleransi, sebab itulah yang harus dihindari. Terlebih lagi, ketika agama dipolitisasi dan dimanifestasikan ke dalam politik identitas tentu saja sangat berbahaya karena menimbulkan perpecahan bangsa. Mau dibawa kemana bangsa kita jika masyarakatnya tidak memiliki rasa persatuan dan kesatuan?

Dengan demikian, saat ini Indonesia benar-benar membutuhkan generasi bangsa yang melek terhadap kesatuan dan persatuan, khususnya menjelang tahun politik yang memicu adanya intoleransi, radikalisme, hingga polarisasi politik. Bersama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa juga harus dilakukan demi mewujudkan pesta demokrasi yang bahagia untuk masyarakat. Untuk itu, mari menguatkan mengelola demokrasi kita dengan baik, agar nantinya persatuan dan kesatuan tetap terjaga, intoleransi dapat diatasi.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute