Khianati Rakyat, MK Ternyata Mampu Dipolitisasi Untuk Kepentingan Kekuasaan
Jakarta – Sejumlah pihak menyampaikan kekecewaannya terhadap putusan MK, bahwa, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun. Putusan MK tersebut dinilai sarat akan kepentingan politik.
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Ali Syafaat dengan sangat kecewa menyatakan bahwa ternyata MK dengan terang-terangan mampu dipolitisasi demi kepentingan penguasa.
“Sehingga mengkhianati rakyat,” katanya.
Putusan MK dinilai menyalahi kewenangan, dimana penentuan syarat Capres-Cawapres adalah mekanisme legislatif dan eksekutif selaku pembentuk Undang-Undang.
“Masyarakat sangat kecewa dengan putusan MK yang seharusnya konsisten menolak seluruh gugatan batas usia Capres-Cawapres,” tegas Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.
Sebelumnya, Ray Rangkuti Dalam sebuah kegiatan diskusi yang digelar oleh PARA Syndicate menjelaskan bahwa rekomposisi antara oposisi dan pendukung pemerintah mungkin terjadi, sehingga posisi Presiden Jokowi menjadi semakin rumit.
“Berbagai protes di medsos menunjukkan kepada istana bahwa masyarakat sedang tidak dalam suasana gembira melihat keadaan saat ini,” ungkap Ray.
Menurut Ray, terdapat skenario lain yang sengaja ingin mendorong atau membiarkan bahkan memfasilitasi anak Jokowi untuk dijadikan sebagai cawapres.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus mengatakan MK terlihat semakin seperti "Mahkamah Keluarga" dengan hubungan dekat antara Presiden Jokowi dan Ketua MK, Anwar Usman.
“Khususnya menjelang Pemilu serentak 2024, MK mungkin menghadapi sengketa terkait hasil Pilpres dan Pilkada yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi,” kata Petrus.
Ari Nurcahyo, selaku Direktur Eksekutif PARA Syndicate menyebutkan, dinamika politik saat ini tampak diatur oleh pihak-pihak terkait, dan publik mulai memahami politik yang mengalir, meskipun kadang sulit membedakan yang asli dan yang palsu.
“Diskusi ini seharusnya menjadi pengingat bagi mereka yang sedang belajar, agar berhati-hati dengan penggunaan kekuasaan, terutama mengingat masa sisa Jokowi hingga Oktober 2024 yang tampak membingungkan banyak orang,” ujarnya.
Disisi lain, dorongan Partai Gerindra agar Prabowo berpasangan dengan Gibran, sebenarnya merupakan bentuk provokasi untuk menjatuhkan nama baik Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya.
Publik meyakini adanya provokator yang sengaja memainkan isu dengan skema Prabowo-Gibran sebagai aspirasi arus bawah, dimana Partai Gerindra telah memainkan politik adu domba antara Presiden Jokowi dengan PDIP.
Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, MK memutuskan seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu dinyatakan bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
[-dit]