Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendukung Tindakan Tegas Terhadap Pelanggar Protokol Kesehatan





Oleh : Edi Jatmiko )*

Pelanggar protokol kesehatan (Prokes) makin lama makin  banyak dan kita wajib untuk mendukung tindakan tegas terhadap mereka. Pelanggar wajib dihukum berdasarkan kesalahannya agar terjadi efek jera, dan kesalahannya tidak akan ditiru oleh orang lain.

Apakah semua orang sudah lelah dengan Corona? Situasi pandemi memang memaksa kita untuk beradaptasi dengan keadaan, dan akhirnya ada yang makin ketat dalam menjaga kesehatan dan disiplin Prokes alias protokol kesehatan. Namun sayangnya ada pula yang sebaliknya, malah melanggar Prokes terang-terangan dan suka berkerumun, dengan alasan untuk bersosialisasi serta tak peduli akan pandemi.

Pelanggaran protokol kesehatan ada bermacam-macam. Yang paling sering adalah tidak disiplin memakai masker. Sungguh miris karena masker harganya sangat murah dan mudah dibeli di mana saja, bahkan di pinggir jalan juga ada yang berjualan. Akan tetapi ada yang memakai masker karena takut kena razia sedangkan setelah itu dilepas begitu saja.

Jika ada masyarakat yang tak pakai masker maka biasanya kena hukuman ringan oleh aparat keamanan. Mereka dikenai hukuman sosial seperti menyapu jalanan, membersihkan pasar, bahkan ada yang disuruh memberi makan ke Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Walau judulnya ‘hanya’ hukuman sosial tetapi juga bikin kapok karena pelanggar akan sangat malu, sehingga diharap ia tidak akan mengulangi kesalahannya. Masyarakat mendukung hukuman ini demi kedisiplinan Prokes.

Pelanggaran Prokes yang kedua adalah kabur dari kewajiban karantina. Sejak awal pandemi, semua orang baik WNI maupun WNA wajib dikarantina selama 10 hari di wisma atlet atau hotel yang ditunjuk. Akan tetapi jika ada yang kabur, entah karena menyogok oknum penjaga atau dengan modus lain, tentu akan kena hukuman.

Pelanggar karantina akan tersangkut UU kekarantinaan, pasal  23 UU nomor 6 tahun 2018. Ancaman hukumannya tidak main-main, denda sebesar 100 juta rupiah atau kurungan paling lama 1 tahun. Diharap denda sebesar ini akan benar-benar jadi efek jera sehingga tidak ada yang bermain-main dengan karantina. Masyarakat juga mendukung karena mereka sadar bahwa pelanggaran ini salah.

Hukuman untuk pelanggar karantina memang besar sekali karena efeknya fatal. Jika yang kabur ternyata positif Corona, apalagi varian omicron, maka ia bisa menularkan ke 70 orang. Angka pasien Covid-19 akan terus naik dan kita akan sengsara karena tak tahu kapan pandemi akan berakhir. Jangan sampai terjadi kekacauan gara-gara egoisme oknum yang menolak karantina dengan sombongnya.

Sedangkan pelanggaran protokol kesehatan yang ketiga adalah membuat kerumunan dengan sengaja. Sayangnya pelanggaran ini sering terjadi di masyarakat. Mulai dari pesta pernikahan yang mengundang sampai ribuan orang (padahal maksimal hanya 50% kapasitas gedung), konser tak berizin yang tentu mengundang jubelan penonton, sampai undangan acara lain yang bikin macet.

Jika ada kerumunan maka dendanya juga sama, 100 juta rupiah. Selain itu ketika ketahuan maka acara tersebut akan langsung dibubarkan oleh tim satgas penanganan Covid dan aparat keamanan. Penyelenggara tidak boleh marah karena ia terbukti melanggar aturan dan harus menanggung akibatnya.

Tindakan tegas terhadap para pelanggar protokol kesehatan wajib didukung dan saat ada yang membuat kerumunan dengan sengaja maka yang melihatnya bisa melapor ke aparat untuk nanti ditindaklanjuti. Jangan takut untuk melapor karena 1 telepon bisa membubarkan acara dan menyelamatkan banyak orang dari kemungkinan terbentuknya kluster Corona baru.

Saat ada yang melanggar protokol kesehatan maka ia tidak boleh marah ketika harus menanggung hukuman, mulai dari ancaman kurungan hingga denda yang besar. Penyebabnya karena ia jelas bersalah karena melanggar Prokes dengan sengaja. Masyarakat juga mendukung tindakan tegas aparat agar terjadi efek jera.


)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute