Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Intoleransi Pintu Masuk Radikalisme



Oleh : Abdul Karim )*

Intoleransi menjadi pintu masuk bagi radikalisme. Masyarakat perlu bijak dan mengedepankan toleransi dalam berbagai hal sebagai kunci merawat keberagaman Indonesia. 

Radikalisme rupanya menjadi hal yang patut diwaspadai, sikap radikal tidak hanya merusak, tetapi juga ancaman terhadap persatuan yang telah dirumuskan oleh para pendahulu bangsa. Namun bagaimana Radikalisme bisa tumbuh di Indonesia, bahkan menyebar secara masif.

Ternyata, pintu masuk dari radikalisme adalah sikap Intoleransi. Sikap intoleran disebut sebagai cikal bakal radikalisme. Sehingga perlu pemahaman beragama yang penuh toleransi untuk bisa menghindari hal tersebut.

Kita juga harus bisa memahami bahwa mencintai agama yang kita peluk, tidak harus dengan membenci agama orang lain. Setiap orang mesti beragama dengan dasar cinta kasih. Sehingga, tidak menimbulkan kebencian dalam merespons agama lain.

Apalagi agama Islam juga melarang sikap Intoleran. Sebab, hal tersebut tidak mencerminkan kasih sayang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Dalam beragama seharusnya tidak membuat orang gelisah dengan keyakinan pihak lain. Karena semua agama sejatinya berkonsep luhur dengan dasar kemanusiaan dan kedamaian.

Masyarakat di Indonesia tentu saja perlu diajak untuk mengembalikan kehidupan beragama ke pada konsep awal, yakni kemanusiaan dan kedamaian. Kedua prinsip tersebut harus dijalankan secara utuh supaya fungsi agama tidak melenceng.

Kaum intoleran menilai bahwa masyarakat khususnya generasi muda lebih mudah untuk dilakukan pencucian otak (brainwash) dengan sasaran terjadi pengingkaran terhadap identitas kemanusiaan serta menghambat pengekspresian diri mereka sebagai generasi muda Indonesia yang cinta damai, cinta toleransi serta menghargai kebhinekaan dan NKRI yang majemuk.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin sempat menyesalkan adanya praktik intoleransi yang sudah sampai pada sikap tidak mau bersahabat, duduk bersebelahan atau melakukan aktivitas bisnis dengan kelompok atau individu yang berbeda agama atau keyakinan. Ia juga khawatir jika intoleransi ini dibiarkan akan berbahaya dan merusak keutuhan bangsa Indonesia.

Hingga saat ini Intoleransi masih terjadi di Indonesia, bahkan kasus intoleransi tersebut dilakukan oleh oknum Guru, salah satunya terjadi di sebuah sekolah negeri di bilangan Jakarta Timur beberapa waktu lalu.

Saat itulah ada salah satu Guru yang menyuruh anak didiknya yang tergabung dalam organisasi Kerohanian Islam (Rohis) afar memilih calon ketua yang se-agama melalui whatsApp Grup.Dalam pesan tersebut tertulis perintah dari Oknum Guru untuk memilih calon ketua OSIS yang Seiman. Tentu saja hal ini patut disayangkan, mengingat sekolah negeri harus bisa menjadi contoh sekolah yang merangkul segenap siswa tanpa memandang apa agamanya.

Pelajar sendiri adalah agen penerus bangsa, sehingga penting ditanamkan nilai demokrasi serta toleransi. Bukan lantas menyakiti hanya karena berbeda keyakinan, karena mereka yang berbeda telah disatukan dengan semangat kebhinekaan.

Jika hal tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin sikap radikalisme akan menjadi benih bagi para pelajar yang kelak akan menggantikan posisi para pengambil kebijakan.

Kita juga kerap mendengar bahwa kelompok radikal telah menyusup kepada aktivitas kemahasiswaan, apalagi Mahasiswa merupakan agen perubahan yang pemikirannya sangat diperlukan untuk kemajuan bangsa.

Radikalisme bisa tumbuh salah satunya karena kurang tafsir-tafsir ilmu dalam konteksnya. Paham tersebut bisa dibenahi, antara lain dengan memahami kajian bahasa arab yang benar.

Jangan sampai ada konten yang asal nyomot bahasa arab lantas kita menganggapnya sebagai bahasa agama. Hal ini tentu harus dibenahi karena pemahaman terhadap kajian arab yang benar dapat digunakan untuk menangkal radikalisme.

Cendekiawan muslim Alwi Shihab menyebutkan, bahwa kelompok radikal di dalam negeri lebih suka dengan ulama dari Timur Tengah atau jazirah Arab untuk dijadikan panutan. Mereka menganggap remeh ulama ulama asli Indonesia. Asumsi Alwi tersebut disebabkan karena dirinya menganggap bahwa penyuluhan atau ceramah dari ulama Indonesia kurang diminati oleh kelompok radikal.

Ia Mengatakan bahwa tokoh-tokoh Islam radikal di Indonesia kerap memprovokasi masyarakat. Misalnya dengan menyebut bahwa Pancasila merupakan ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal sudah jelas bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa yang tidak dapat diganggu gugat.

Pembiaran terhadap sikap intoleransi bisa jadi bom waktu yang tak bisa diperkirakan kapan akan meledak menjadi sikap radikalisme. Pemerintah dan masyarakat harus berkolaborasi untuk senantiasa menjaga sikap toleran kepada keberagaman demi menjaga persatuan Indonesia.


)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute