Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cegah Radikalisme Sejak di Lingkungan Keluarga

Oleh : Alif Fikri )*

Radikalisme harus dicegah sejak dini, dari lingkungan terkecil yakni lingkungan keluarga. Penyebabnya karena keluarga merupakan lingkungan inti untuk membentuk kepribadian seseorang.

Ketika ada anggota kelompok radikal yang nekat menyerang di tempat umum, maka ia langsung ditangkap oleh aparat keamanan. Kemudian diadakan penyelidikan mengenai pendidikannya, lingkungannya, dan keluarganya. Namun dari beberapa kasus radikalisme dan terorisme, kebanyakan orang tua tidak tahu jika anaknya terjerat dalam kelompok teroris.

Padahal keluarga adalah pelindung pertama dari segala ajaran negatif, termasuk radikalisme dan terorisme. Jangan sampai masyarakat yang berstatus orang tua mengabaikan anaknya atau menganggap mereka baik-baik saja. Akan tetapi sang anak diam-diam bergabung dengan kelompok teroris dan merencanakan serangan serta pengeboman.

Tarwilah, Dosen Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, menyatakan bahwa upaya pemberantasan radikalisme memerlukan langkah yang komprehensif, berupa upaya preventif dan penanganan. Dalam konteks langkah preventif, lingkungan keluarga memegang peranan yang sangat penting untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit radikalisme.

Tarwilah melanjutkan, orang tua harus menjadi benteng utama yang melindungi anak-anaknya dari bahaya radikalisme. Berbagai aktivitas anak harus dalam pengawasan dan orang tua harus memantaunya. Jangan sampai mereka melakukan hal-hal negatif dan orang tua harus peka dalam mengasuh.

Dalam artian, langkah preventif bisa dilakukan agar anak tidak terjerumus dalam radikalisme dan terorisme. Masyarakat perlu memahami bahwa keluarga merupakan pelindung utama, dan jangan hanya membiarkan anak bermain seenaknya sendiri. Jika ada pengajaran dan pemantauan maka anak-anak akan paham betapa bahayanya kelompok teroris.

Langkah pertama untuk mencegah terorisme sejak di lingkungan keluarga adalah dengan memberi tahu apa itu terorisme dan radikalisme, sejarahnya, dan bahayanya. Jangan ditutup-tutupi karena anak harus paham dan mendapatkan pengertian yang benar. Jika mereka tahu sejarah terorisme maka akan mengerti mengapa paham ini dilarang di Indonesia, karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kemudian, orang tua bisa mengawasi pergaulan anak-anaknya. Jangan sampai mereka terlalu sering keluar dengan teman-temannya dan lupa pulang, bahkan menginap berhari-hari. Walau anak sudah di usia remaja tetapi sampai usia 17 ia masih tanggungan ayah dan ibunya, jangan terlalu dibebaskan karena ia bisa terjebak pergaulan bebas dan kena rayu kelompok teroris dan radikal.

Pergaulan anak-anak di sosial media juga wajib dipantau. Ini bukanlah tindakan yang posesif atau melanggar privasi. Namun sebagai upaya agar anak-anak tidak terpapar radikalisme dari sosial media. Sesekali tanyakan siapa saja orang yang diikuti di sosial media, apakah itu guru, artis, atau tokoh lainnya. Anak-anak akan bercerita dan orang tua bisa mengerti bahwa mereka tidak kenal tokoh-tokoh radikal di sosial media.

Untuk membuat anak makin terbuka kepada orang tua maka orang tua jangan mendidik terlalu keras karena anak akan malas untuk memulai komunikasi. Namun wajib dengan didikan yang demokratis dan terbuka. Anak-anak akan  bercerita apa saja karena ia tidak akan takut dicela atau dimaki-maki.

Jangan sampai anak jadi tertutup lalu ‘melarikan diri’ dengan membuka banyak situs dan akun sosial media, karena ia bisa mencari pelarian. Kondisi ini yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal yang mencari anggota baru. Anak-anak yang terlalu tertutup dan stress ini direkrut jadi kader baru dan dicuci otaknya. Terbukti ketika ada penangkapan teroris, orang tuanya saat diwawancarai mengaku anaknya terlalu tertutup, jadi jangan sampai anak salah jalan.

Sementara itu, Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Komjen Pol. Boy Rafli Amar, menyatakan bahwa  pendidikan anti radikalisme dari keluarga merupakan hal yang utama. Jangan sampai anak-anak mengarah pada kejahatan, termasuk terorisme.

Artinya, pendidikan anti radikalisme perlu diajarkan sejak dini, terutama dari keluarga. Ibu adalah pendidik pertama anak dan mengajarkan tentang bahaya radikalisme dan terorisme bagi masyarakat Indonesia. Anak-anak akan paham mengapa ada penangkapan teroris, mengapa ormas radikal dilarang di Indonesia, dll. Mereka tidak akan mau kenal dengan kelompok radikal karena tahu bahayanya.

Oleh karena itu masyarakat diminta untuk selalu update berita agar tidak kaget jika ditanyai anak-anaknya mengenai terorisme dan radikalisme. Mereka wajib menjawab dengan tepat agar anak-anak puas, lalu menghindari radikalisme sesegera mungkin. Jangan sampai anak-anak sudah terpapar radikalisme sejak usia dini karena orang tuanya tidak tahu apa itu teroris.

Untuk mencegah radikalisme dan terorisme di Indonesia maka bisa dimulai dari lingkungan terdekat, yakni keluarga. Orang tua wajib menanamkan nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, dan pluralisme. Mereka juga mengajari anak-anaknya mengenai bahaya terorisme dan radikalisme, serta terus memantau agar pergaulannya tidak salah jalan. Jangan sampai ada anak yang direkrut jadi teroris dan orang tuanya tidak mengetahuinya.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute