RKUHP Tidak Anti Kritik
Oleh : Clara Diah Wulandari )*
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terdapat pasal larangan hinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan pemerintah. Pasal ini bukan berarti rakyat dilarang untuk mengkiritik pemerintah, karena yang dilarang adalah hinaan, bukan kritik yang membangun.
Indonesia adalah negara demokrasi dan salah satu cirinya adalah rakyat boleh memberikan kritik, saran, dan masukan kepada pemerintah. Warga Indonesia bebas berpendapat dan mereka memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan isi hatinya. Namun sayang sekali, kritik yang dilayangkan sangat keterlaluan sampai berubah jadi caci-maki dan fitnah yang kejam.
Untuk mengatasi hoaks dan fitnah maka dalam RKUHP terdapat Pasal 218 yang melarang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara. Pasal ini yang dipermasalahkan oleh sebagian warga Indonesia, dan menganggap RKUHP adalah RUU yang anti kritikan.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menghapus Pasal 218. Orang-orang yang menilai bahwa RKUHP anti kritik berarti tidak bisa membedakan antara kritikan dengan hinaan. Jika ada seseorang yang menyamakan kritikan dengan hinaan maka sama saja ia sesat pikir dan tidak bisa membaca.
Dalam artian, pemerintah tidak menghapus pasal penghinaan Presiden karena ada alasannya. Presiden adalah kepala negara jadi harus dijaga marwahnya. Penghinaan terhadap Presiden sama saja menghina Indonesia, karena beliau adalah kepala negara, dan harus dijaga kehormatannya.
Pihak yang menyamakan kritik dengan hinaan berarti belum tahu perbedaannya. Kritik adalah cara untuk memperbaiki orang lain dengan memberi tahu suatu kebenaran dan membenarkan jika ada kesalahannya. Sedangkan hinaan adalah kata-kata kasar yang bisa menghancurkan mental orang lain, atau bisa berupa gambar/konten yang berisi perundungan/bully-an.
Dalam RKUHP, yang dilarang adalah hinaan, bukan kritikan. Ketika Presiden Jokowi menjabat sejak tahun 2014, sayangnya lebih banyak yang memberikan hinaan daripada kritik membangun. Di banyak berita media online abal-abal dan akun-akun media sosial, terpampang jelas hinaan, baik berupa status, tweet, video, dan gambar hasil editan, serta meme.
Hinaan yang dibuat sudah sangat keterlaluan karena tidak berdasarkan fakta dan tidak berperikemanusiaan. Oleh karena itu pemerintah membuat pasal 218 dalam RKUHP, agar ada efek jera terhadap orang yang melakukan penghinaan dengan media apapun, atau oknum yang membuat konten berisi hinaan di internet.
Masyarakat masih boleh mengkritik pemerintah karena Indonesia adalah negara demokrasi. Jika nanti RKUHP disahkan jadi KUHP, maka tidak perlu takut untuk bersuara. Namun kritik disampaikan karena cinta, karena ingin agar Indonesia menjadi lebih baik. Bukannya kritik destruktif yang terlalu pedas dan sengaja dibuat untuk menyerang pemerintah dan mencederai marwah kepala negara.
Sementara itu, pemerintah menambahkan definisi frasa ‘kritik’ dalam penjelasan Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Definisinya adalah: kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.
Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif ataupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik mengandung ketidak setujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden / Wakil Presiden atau lainnya. Kritik dapat membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada Presiden dan Wakil Presiden.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif, menyatakan bahwa dalam pembahasan isu-isu krusial RKUHP, terdapat penjelasan mengenai Pasal 218. Di antaranya: merupakan delik aduan, terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri, pengaduan dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wapres.
Kemudian, istilah yang digunakan bukan ‘penghinaan’, terapi ‘penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden’. Pada dasarnya adalah penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wapres di muka umum.
Dalam artian, terhadap perbedaan besar antara kritik dan penghinaan. Masyarakat boleh mengkritik pemerintah jika ada kebijakan yang dirasa tidak pas dengan mereka. Namun sebaiknya kritik yang disampaikan dengan saran alias kritik yang membangun. Bukannya hinaan yang dibungkus dengan kata kritik, padahal dilontarkan karena sejak awal membenci sosok presiden secara pribadi.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wapres tentu dilarang keras karena tidak ada orang yang mau dihina oleh orang lain, apalagi di muka umum. Bayangkan, jika tidak ada pasal larangan penghinaan terhadap kepala negara, seperti apa wajah Indonesia. Pihak yang sirik akan terlalu bebas dalam menghina pemerintah dan menyerang Presiden secara pribadi, bahkan sampai ke keluarganya.
Pemerintah tidak pernah anti terhadap kritikan, karena dalam Pasal 218 RKUHP yang dilarang adalah hinaan. Kritikan tetap boleh disampaikan asal dengan kata-kata yang sopan dan alangkah baiknya jika ditambah dengan solusi. Indonesia tetap negara demokrasi yang memperbolehkan rakyatnya memberi kritikan.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara