Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cegah Perpecahan dengan Menghindari Politik Identitas

Oleh : Tyas Permata Wiyana )*

Politik Identitas seakan menjadi topik panas jelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Politik identitas inilah yang menyebabkan perpecahan menjadi sangat mungkin terjadi, bahkan sampai muncul pelarangan seseorang untuk masuk ke tempat ibadah hanya karena berbeda pilihan.

Andi Widjajanto selalu Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) menolak eskalasi penggunaan politik identitas dalam pemilu 2024. Hal tersebut dikarenakan politik identitas justru bisa memicu perpecahan.

Selain politik identitas, Andi menolak adanya penyebaran disinformasi yang di dalamnya terdapat hoax, ujaran kebencian dan fraud yang disengaja untuk memunculkan kegaduhan politik.

Kalau hal tersebut bisa atasi dan beralih menjadi kampanye-kampanye yang substansial untuk demokrasi yang deliberatif, kita mencari ide-ide baru, terobosan apa yang bisa ditawarkan kepada pemilih.

Misalnya apa yang bisa kita pikirkan untuk memperkuat demokrasi, melakukan transformasi hijau dan seterusnya. Maka, kemunginan kompetisi yang terjadi itu akan menjadi kompetisi yang berkualitas yang memperkuat demokrasi bagi NKRI.

Selain itu, Andi mengatakan bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung dalam situasi yang relatif tidak stabil. Hal ini dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi global. Berbeda dengan Pemilu 2014 dan 2019 di mana saat itu kondisinya stabil, Pemilu 2024 dibayangi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Terlebih, resesi dunia juga masih mengintai yang berlanjut pada persoalan perbankan dan krisis utang di sejumlah negara.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puadi meminta agar partai politik (parpol) tidak menyinggung politik identitas saat pemilu 2024. Bawaslu menekankan pentingnya membangun iklim demokrasi yang sehat di Indonesia.

Dirinya secara tegas mengatakan, pentingnya membangun iklim sehat dalam demokrasi di Indonesia. Dia juga menekankan perihal pentingnya semua pihak terkait untuk berpikir secara visioner demi mewujudkan pemilu yang berkualitas.

Sebelumnya, dalam kesempatan pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar jangan ada lagi politik Identitas dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Dirinya juga mengingatkan agar jangan ada lagi politisasi agama dan polarisasi sosial selama persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2024. Demokrasi di Indonesia haruslah semakin dewasa dengan memperkuat konsolidasi nasional.

Tentu masih ada dalam ingatan tentang pemilu 2019, di mana momen tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua elemen. Kala itu identitas satu dibenturkan dengan identitas yang lain, hingga akhirnya sesama umat Islam juga saling dibentur-benturkan. Hal tersebut tentu saja akan mengakibatkan rusaknya persahabatan bahkan rumah tangga.

Eksploitasi politik identitas termasuk juga penyebaran hoax tentu saja tidak boleh dianggap sebagai kelaziman untuk meraih suara rakyat. Bagaimanapun juga tujuan yang baik sudah sepantasnya harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula.

Politik Identitas sumbernya adalah belum mampunya mentransformasi identitas sosial ke identitas politik. Identitas politik masih menjadi subordinasi dari identitas sosial.

Para peserta pemilu baik itu calon presiden atau calon legislatif haruslah mengutamakan politik kebangsaan dengan cara menempatkan kepentingan negara di atas segalanya, bukan kepentingan kelompok dan pribadi.

Pada kesempatan berbeda, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berharap agar pemilu 2024 bebas dari politik identitas. Sebab menuturnya, politik identitas sangatlah berbahaya, hal ini dibuktikan dengan adanya dampak politik identitas pada pemilu sebelumnya yang masih terasa hingga saat ini.

Bamsoet berharap, pemilu 2024 nanti persaingan antar kandidat akan berjalan dengan sehat. Tidak seperti pada pemilu 2019 yang berujung retaknya keharmonisan antar masyarakat.

Kepentingan politik identitas memang cukup mengkhawatirkan serta menimbulkan keretaan terhadap akar persatuan dan keutuhan bangsa. Untuk itu, pihaknya juga mengajak kepada segenap elemen bangsa untuk menyuarakan tolak politik identitas sebagai alat untuk meraih suara elektoral.

Sementara itu, Yaqut Cholil Qoumas selaku ketua GP Ansor mengatakan, memasuki tahun politik, tentu saja banyak aktor politik yang berpikiran sempit guna memuluskan kepentingannya. Bahkan ada yang lici dengan mengusung isu atau simbol keagamaan. Hal ini tentu saja harus diwaspadai bersama karena sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa.

Orang yang akrab disapa Gus Yaqut tersebut mengatakan, bangsa Indonesia dibangun di atas perjuangan berat oleh para pendiri untuk menyatukan berbagai perbedaan yang ada di Nusantara seperti agama, suku, ras, golongan, bahasa dan lain sebagainya. Persatuan yang telah terbina dengan kuat tersebut dirawat dan dijaga karena Indonesia telah terbukti menjadi rumah bersama.

Menghadapi situasi tersebut, dirinya meminta kepada para kader Pemuda Ansor dan Banser untuk tidak lengah. Sebab akan sangat mungkin para pengguna politik akan menyasar anak muda termasuk kader NU demi tujuan praktis.

Oleh karena itu demi mewujudkan pemilu yang sehat tentu saja diperlukan banyak pihak untuk saling merajut persatuan meski dalam pemilu memiliki perbedaan pilihan. Politik Identitas sudah sepatutnya dihindari dan diwaspadai agar pemilu tidak meninggalkan polarisasi.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute