Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pakar: Pancasila Lulus “Summa Cumlaude” dari Berbagai Benturan Ideologi



Jakarta – Politikus Reformasi Mahfudz Sidiq meyakini Indonesia akan menjadi negara yang tidak hanya kuat dari sisi ekonomi, namun juga disegani secara politik sebagai negara maju di dunia.


"Ideologi Pancasila, konstitusi, dan konsep NKRI telah mengawal sejarah perjalanan hidup bangsa kita. Jika dihitung dari kebangkitan nasional 20 Mei 1928, 100 tahun lagi adalah 2028 dan dihitung dari Proklamasi kemerdekaan, maka 100 tahun lagi adalah 2045," tutur Mahfudz Sidiq, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).


Ia menilai terdapat tiga tantangan pokok yang dihadapi ideologi Pancasila. Pertama, tantangan untuk mengeliminasi kontradiksi sikap, perilaku, dan tindakan terhadap ajaran Pancasila. Misal, perilaku koruptif, LGBT, dan liberalisasi budaya. Tantangan kedua, yaitu menguatkan visi kolektif bangsa menuju kekuatan baru di dunia tahun 2045. Tantangan ketiga, mengembangkan ketahanan nasional dalam konteks menghadapi dinamika global. 


“Ancaman utama ideologi Pancasila ialah proxy dari kekuatan global dalam perang asimetris. Kemudian, arus liberalisasi dalam trend open society. Ancaman lainnya ialah industrialisasi politik. Banyaknya konsultan politik, lembaga survei, itu yang membuat adrenalin politik banyak pihak naik, sehingga yang tidak pernah masuk dalam organisasi politik dan tidak memiliki ideologi, terjebak dalam permainan politik tak bervisi dan membuat demokrasi kita menjadi Wani Piro," jelas pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Partai Gelora tersebut.


Sementara itu, Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Global, Prof. Dubes Imron Cotan mengungkapkan bahwa Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal.


Menurutnya, Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude. 


“Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pernah berpesan agar semua pihak meninggalkan politik pecah belah,” ungkap Prof. Imron.


Imron juga menggarisbawahi imbauan bakal calon presiden Ganjar Pranowo agar para calon presiden tidak saling menjelekkan satu sama lain.


“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan Pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga. Ini adalah peringatan bagi kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” pungkasnya.


Pada kesempatan sama, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto menuturkan bahwa sistem politik di Indonesia masih membuka celah melibatkan keberpihakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilu. 


"Politik kita kerap menyeret-nyeret ASN. Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam," kata Agus.


Menurut data Bawaslu, lanjut Agus, dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).


"Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan," imbuhnya. 


Karenanya Agus menegaskan agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam Pemilu. 


“Sebab jika tidak, akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik," ujarnya. 



(*)