Tindak Tegas Penyebar Hoaks tentang Pemilu
Oleh : Safira Tri Ningsih )*
Masyarakat wajib mewaspadai penyebaran hoaks saat kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024. Ketika ada provokator dan penyebar hoaks maka harus ditindak tegas. Dia bisa dikenai UU ITE dan KUHP serta mempertanggungjawabkan kesalahannya di pengadilan. Penyebar hoaks harus ditindak agar tidak membuat kekacauan di negeri ini.
Sebentar lagi masyarakat menyambut Pemilu 2024. Saat pemilu, yang mendebarkan bukan hanya memprediksi siapa presiden baru yang terpilih. Namun masyarakat juga waspada akan maraknya hoaks saat kampanye. Jangan sampai Pemilu 2024 seperti Pemilu tahun 2014 dan 2019, di mana ada banyak provokator yang membuat dan menyebarkan hoaks.
Bareskrim Polri telah berkoordinasi dengan KPU terkait beredarnya video viral kebocoran data hasil Pemilu 2024. Bareskrim memastikan bahwa kabar kebocoran data KPU soal hasil pemungutan suara pemilu 2024 itu tidak benar alias hoaks.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Adi Vivid Agustiadi Bachtiar menyatakan memang sudah ada informasi di media beredar bahwa data yang di KPU itu terjadi kebocoran. Namun demikian dari pihak KPU sendiri menyanggah informasi tersebut. Pihaknya bekerja sama dengan KPU untuk melakukan profiling terhadap pihak yang mengunggah pertama hoaks kebocoran data hasil Pemilu 2024. Jika ditemukan unsur pidana, Bareskrim Polri akan mengusut tuntas temuan tersebut.
Hoaks bahwa hasil pemilu 2024 sudah ada adalah fitnah yang sangat kejam. Masa kampanye belum dimulai dan pemilihan calon presiden dan partai-partai baru dilakukan pada awal tahun 2024. Tidak mungkin hasil pemilunya sudah keluar karena akan membingungkan masyarakat.
Pemerintahan Presiden Jokowi menjaga demokrasi dan tidak akan memanipulasi hasil pemilu 2024. Masyarakat diminta untuk tidak mempercayai hoaks pemilu, dan melaporkan jika mengetahui ada yang memproduksi atau menyebarkan hoaks.
Kemudian, para penyebar hoaks wajib ditindak dengan tegas. Mereka akan terkena beberapa UU, di antaranya UU ITE dan KUHP. Pertama, pasal 40 ayat (2) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Lalu, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sampai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif.
Direktur Jendral Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Samuel menyatakan bahwa dasar hukum penanganan konten negatif saat ini telah tercantum dalam perubahan UU ITE. Hoaks itu ada dua hal, pertama, berita bohong harus punya nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 28 ayat 2 itu berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)"
Samuel menambahkan, kalau berita-berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar.
Dalam artian, penyebar hoaks pemilu harus ditindak tegas dan diberi hukuman yang paling berat. Mereka harus merasakan konsekuensinya (berupa kurungan atau denda yang besar) karena telah menyebarkan kebohongan di tengah masyarakat.
Masyarakat juga dihimbau untuk tidak mempercayai hoaks apapun mengenai Pemilu 2024. Mudahnya mengakses informasi di internet membuat masyarakat kadang tak bisa membedakan antara hoaks dan berita yang asli. Apalagi hoaks yang beredar seringkali ditambah dengan kalimat bombasti. Oleh sebab itu, semua pihak perlu mengeceknya terlebih dahulu supaya mengetahui bahwa itu berita asli atau bukan.
Para penyebar hoaks juga bisa terkena KUHP Pasal 262 ayat 1 berisi: Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Analis Kebijakan Utama Bidang Jemen Ops Itwasum Polri, Irjen Pol. Rikwanto, S.H, menyatakan bahwa penebar hoaks di dunia maya bisa dikenakan pasal dalam RKUHP atau di luarnya (misalnya UU ITE). Hoaks bertujuan untuk menghasut individu atau kelompok tertentu.
Dalam artian, hoaks berbahaya karena memicu orang lain untuk saling membenci dan bisa menyinggung SARA. Jika tidak ada pasal yang memberi hukuman atau denda kepada para penyebar hoaks, maka penyebarannya akan merajalela. Hoaks makin menjamur, baik di grup WA keluarga atau grup lain.
Para penyebar hoaks pemilu harus ditindak tegas dan mendapat hukuman maksimal. Mereka bisa terkena KUHP dan UU ITE, dan dipenjara atau didenda dengan nominal besar. Masyarakat harus waspada akan hoaks dan propaganda dan bisa membedakan berita pemilu yang asli dan yang palsu.
)* Penulis adalah Kontributor Daris Pustaka