Bersinergi Cegah Penyebaran Paham Khilafah Eks HTI
Oleh : Junika Karmila)*
Di tengah gejolak dinamika sosial dan politik yang terus berkembang di Indonesia, peran masyarakat sipil dalam mencegah penyebaran paham radikal seperti Khilafah menjadi semakin penting. Salah satu organisasi yang menjadi fokus perhatian adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang secara terbuka mengadvokasi untuk mendirikan negara berbasis khilafah di Indonesia. Meskipun HTI dilarang pada tahun 2017, kekhawatiran masih ada bahwa eks anggota dan simpatisannya dapat terus berupaya menyebarkan paham radikal tersebut di masyarakat.
HTI adalah organisasi terlarang yang mempunyai agenda transnasionalisme. Sejak dekade lalu, mereka menebarkan propaganda penegakan khilafah di Indonesia. Mereka anti-demokrasi, dan secara umum menentang aspek sosial-politik-keagamaan di negara ini dengan label kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme. Bagi HTI, khilafah adalah kewajiban yang harus ditegakkan.
Baru-baru ini terdapat kabar adanya acara perayaan Isra Miraj bertemakan ‘Metamorfoshow’ yang digelar oleh organisasi HTI di Taman Mini Indonesia Indah pada 17 Februari 2024 lalu. Kegiatan disebut dihadiri langsung oleh Ismail Yusanto, mantan juru bicara (jubir) HTI; Aab El Karami Konten Kreator HTI; M Ihsan Akbar, Influencer Gen Z HTI, Akhmad Adiasta selaku narrator, producer Dokusinema Sejarah Islam "Jejak Khilafah di Nusantara" dan aktivis-HTI lainnya serta dihadiri 1.200 anak muda.
Adanya kegiatan tersebut menunjukkan bahwa kita perlu berhati-hati terhadap berbagai kamuflase yang diciptakan oleh organisasi agama atau masyarakat untuk mencuci otak masyarakat agar menjauhi demokrasi Indonesia dan memakai propaganda khilafah.
Akademisi dari Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah mengatakan pemerintah perlu mewaspadai kamuflase dari kelompok HTI usai Pemilu 2024. Menurutnya, meskipun HTI sudah dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, tapi sejati-nya sel-selnya masih tertancap kuat.
Muhamad Syauqillah mengatakan HTI kembali memperlihatkan diri di masa transisi kepemimpinan 2024. Jamak diketahui bahwa kelompok ini selalu mencari celah di tengah berbagai macam agenda nasional. Kemunculan HTI merupakan sinyal kuat bahwa organisasi transnasional ini masih eksis di Indonesia.
Gerakan khilafah ini harus menjadi perhatian pemerintah. Kita tidak boleh terlena dengan terjadinya tren penurunan angka kejahatan terorisme akhir-akhir ini dikarenakan pemikiran radikalisme dan ekstremisme, sangat berbahaya bagi ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI.
Ia mengatakan, era media sosial yang begitu bebas, akan sangat rawan sekali warga net ikut terpapar dengan agitasi dan propaganda kelompok radikalis-ekstremis. kelompok yang rawan terhasut seperti perempuan dan anak muda, baik milenial maupun gen-Z, sangat mungkin akan jadi sasaran target kelompok radikal teror, untuk direkrut dan digalang sebagai simpatisan baru.
Selanjutnya, Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf mengingatkan pemerintah dan masyarakat perlu mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah.
Potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan menjadi semacam panacea atau obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya, jelas menggiurkan bagi beberapa masyarakat meskipun masyarakat Indonesia tidak terlalu berpihak pada kepemimpinan atau model pemerintahan khilafah.
Untuk melawan penyebaran ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keberagaman Indonesia, diperlukan upaya sinergis dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), institusi pendidikan, agama, dan masyarakat umum. Melalui kolaborasi yang kokoh, dapat diciptakan langkah-langkah preventif dan interventif yang efektif untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul dari paham radikal tersebut.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat peran institusi pendidikan dalam membangun pemahaman yang kokoh tentang toleransi, pluralisme, dan nilai-nilai demokrasi. Kurikulum pendidikan yang inklusif dan pembelajaran yang interaktif dapat membantu mencegah munculnya sikap intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi muda. Selain itu, pendidik juga perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali serta mengatasi tanda-tanda radikalisasi di lingkungan sekolah.
Tak hanya itu, peran agama juga menjadi kunci dalam menanggulangi penyebaran paham Khilafah. Pemimpin agama dan pengajar di masjid, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi jamaahnya tentang pentingnya menjaga kedamaian dan menghormati perbedaan. Dialog antaragama yang terbuka dan berkesinambungan juga dapat membantu mengurangi ketegangan antar kelompok agama dan memperkuat solidaritas antar umat beragama.
Di samping itu, LSM dan organisasi masyarakat sipil perlu terus mengawasi dan mengadvokasi untuk penegakan hukum terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas radikal. Melalui pemantauan yang cermat terhadap perkembangan situasi, informasi yang akurat dapat disebarkan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh paham Khilafah.
Pemerintah juga memiliki peran sentral dalam menanggulangi radikalisme. Selain melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap kelompok-kelompok radikal, pemerintah juga perlu menggalakkan program-program deradikalisasi yang bertujuan untuk merehabilitasi eks anggota HTI dan individu lain yang terpapar paham radikal. Pendekatan ini haruslah holistik, mencakup aspek-aspek psikologis, sosial, dan ekonomi guna memastikan reintegrasi yang berhasil ke dalam masyarakat.
Penyebaran paham Khilafah oleh eks HTI di Indonesia memerlukan respons yang terkoordinasi dan menyeluruh dari berbagai pihak. Dengan memperkuat sinergi antara pemerintah, LSM, institusi pendidikan, agama, masyarakat sipil, dan media massa, dapat diciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi penyebaran ideologi radikal. Hanya melalui kerjasama yang erat dan komprehensif inilah Indonesia dapat membangun ketahanan yang kuat terhadap ancaman ekstremisme dan memastikan kedamaian serta keberlanjutan demokrasi
)* Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik