Jaga Persatuan, Sengketa Pemilu Dapat Menempuh Jalur Hukum
Oleh: Abner Dumatubun*
Momentum penetapan hasil Pemilu 2024 tidak luput dari bayang-bayang protes sejumlah pihak yang tidak puas. Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk selalu menjaga persatuan dan menyalurkan aspirasi melalui jalur hukum sebagai sarana resmi penyelesaian sengketa.
Bareskrim Polri memaparkan alur pelaporan terkait dugaan pelanggaran Pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dianggap sebagai leading sector penanganan pelanggaran Pemilu, sehingga setiap laporan harus masuk melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) di Bawaslu. Hal ini diatur dalam Pasal 454 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menegaskan bahwa laporan pelanggaran Pemilu harus disampaikan langsung oleh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, peserta Pemilu, dan pemantau Pemilu kepada lembaga pengawas Pemilu seperti Bawaslu.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, menjelaskan bahwa Bawaslu memiliki kewenangan untuk menerima laporan terkait Pemilu. Dengan mekanisme yang terstruktur, Bawaslu melibatkan Sentra Gakkumdu yang terdiri dari Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan. Mereka akan menindaklanjuti laporan dengan melakukan gelar untuk mengkaji apakah terdapat unsur pelanggaran atau tidak.
Apabila pelanggaran tersebut merupakan dugaan etika, Bawaslu akan meneruskannya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Jika pelanggaran bersifat administratif, Bawaslu akan menanganinya sesuai kewenangannya. Sedangkan, jika melibatkan pelanggaran Undang-Undang lainnya, Bawaslu akan mengirimkannya kepada instansi yang berwenang.
Mekanisme ini sesuai dengan Pasal 455 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengatur penanganan temuan dan laporan pelanggaran Pemilu. Selain itu, aturan lebih lanjut mengenai penanganan pelanggaran Pemilu diatur dengan Peraturan Bawaslu. Jika laporan terbukti sebagai pelanggaran pidana, sesuai dengan Pasal 476 UU 7 tahun 2017, akan diteruskan ke Polri.
Penting untuk diketahui bahwa tidak ada laporan pelanggaran pidana Pemilu yang langsung disampaikan oleh masyarakat ke Polri tanpa melalui Bawaslu. Dengan demikian, proses penanganan sengketa Pemilu dilakukan secara terstruktur dan melibatkan lembaga-lembaga yang berkompeten.
Sementara itu, DPD RI sepakat membentuk Pansus Dugaan Kecurangan Pemilu 2024. Namun, Djuhandhani menegaskan bahwa solusi terhadap sengketa hasil Pemilu tidak dapat melibatkan hak angket DPR kepada presiden. Hal itu juga diamini oleh kalangan akademisi. Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Medan Area, Dr. Walid Musthafa Sembiring, penggunaan hak angket dalam konteks ini hanya akan menambah polemik.
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya MDA, Ph.D, menyatakan bahwa penggunaan hak angket oleh DPR untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu tidak tepat. Hak angket, menurutnya, tidak dirancang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu atau dugaan kecurangan Pemilu. Ia menekankan bahwa penyelesaian dugaan kecurangan Pemilu memiliki saluran tersendiri, seperti yang ditangani oleh Bawaslu, DKPP, dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Andy menegaskan bahwa hasil yang diperoleh melalui hak angket tidak akan memiliki dampak terhadap hasil Pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme hak angket tidak dapat dianggap sebagai solusi dalam kasus sengketa hasil Pemilu atau dugaan kecurangan.
Pernyataan dari para ahli mengingatkan kita akan pentingnya pemahaman mendalam terhadap fungsi dan batasan konstitusional dari berbagai mekanisme hukum dan politik dalam konteks Pemilu. Dalam menghadapi isu-isu kritis seperti dugaan kecurangan Pemilu, pemahaman yang jelas terkait prosedur dan mekanisme penyelesaiannya menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Sambil menekankan pentingnya menempuh jalur hukum, kita juga perlu mendorong semua pihak untuk berkomitmen pada sikap yang menghormati dan mendukung proses demokratis. Kita tidak boleh membiarkan sengketa Pemilu mengakibatkan polarisasi masyarakat. Pemilu seharusnya memperkuat, bukan melemahkan, jalinan sosial dan kebersamaan kita sebagai bangsa.
Pentingnya menjaga persatuan dalam konteks sengketa Pemilu tidak boleh diabaikan. Kita harus menghindari retorika yang memecah-belah dan berusaha membangun jembatan komunikasi di antara berbagai kelompok masyarakat. Dialog terbuka dan konstruktif adalah kunci untuk membangun konsensus dan mencapai kesepakatan bersama.
Sebagai masyarakat, kita memiliki peran aktif dalam mengamankan persatuan. Mari bersama-sama menjaga suasana yang kondusif untuk membangun negara yang kokoh dan maju. Kita dapat melakukan hal ini dengan tidak memperkeruh suasana, tetapi malah fokus pada pemecahan masalah melalui dialog dan partisipasi aktif dalam proses demokratis.
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu dan penghormatan terhadap jalur hukum yang telah ditetapkan, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menjaga persatuan dan membangun masa depan demokratis yang kokoh. Mari kita semua, sebagai masyarakat yang beragam, bersatu dalam menghormati hasil Pemilu 2024 dan mendorong penyelesaian sengketa dengan cara-cara yang demokratis dan transparan. Dengan demikian, kita dapat membuktikan bahwa keberagaman politik kita adalah kekuatan, bukan kelemahan. Mari bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang.
)* Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Politik asal Sumatera Utara