Mendukung Rekonsiliasi Pasca Pemilu 2024
Oleh: Arsenio Bagas Pamungkas*
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah usai, namun tantangan bagi masyarakat Indonesia belum berakhir. Sekarang, kita memasuki tahap yang tidak kalah pentingnya, yaitu rekonsiliasi pasca-pemilu. Proses rekonsiliasi ini penting untuk memperkuat persatuan dan membangun kebangsaan di tengah perbedaan yang ada.
Kita telah menyaksikan bagaimana proses demokrasi di Indonesia berjalan dalam Pemilu 2024. Proses ini adalah bentuk kedewasaan bangsa dalam menghadapi perbedaan pendapat dan pilihan politik.
Namun, setelah Pemilu berakhir, tidak jarang perbedaan tersebut masih meninggalkan bekas yang sulit dihapus. Segregasi dan konflik horizontal masih terjadi, terutama ketika perbedaan sikap di tingkat pejabat dan partai politik meresap hingga ke masyarakat biasa.
Dalam konteks ini, Guru Besar Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangkaraya, Prof. Dr. KH. Khairil Anwar, M.Ag., menyoroti pentingnya rekonsiliasi dan membangun kebangsaan pasca-pemilu. Menurutnya, upaya perdamaian pertama dapat dimulai dengan mengurai simpul-simpul di antara partai politik yang sebelumnya memiliki perbedaan pendapat dan dukungan.
Perbedaan pandangan yang muncul selama kampanye seringkali meresap hingga ke tingkatan grass root, bahkan setelah Pemilu berakhir. Maka, Prof. Khairil mengajukan ide untuk mengadakan pertemuan antara perwakilan partai politik, beserta tokoh-tokoh nasionalis dan agamis yang dianggap dapat berhubungan baik dengan semua pihak.
Tokoh-tokoh seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X, Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Nahdlatul Ulama, dan Haedar Nashir dari Muhammadiyah termasuk di antara mereka yang diharapkan dapat berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.
Namun, dalam menyikapi proses Pemilu 2024, Prof. Khairil juga menyayangkan kurangnya kepedulian sebagian masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa setiap keputusan yang dibuat melalui Pemilu memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya partisipasi aktif sebagai warga negara, terutama melalui hak pilih, perlu ditingkatkan.
Dalam sistem demokrasi Indonesia, setiap orang memiliki kesempatan untuk secara langsung ikut menentukan arah kebijakan negara. Namun, harapan Prof. Khairil tetap besar agar masyarakat Indonesia dapat menerima hasil Pemilu 2024 dengan lapang dada. Meskipun memiliki pilihan yang berbeda, semangat persatuan dan persaudaraan harus tetap dijaga.
Dalam pandangannya, rekonsiliasi pasca-Pemilu harus didasari oleh keadilan, toleransi, dan inklusivitas. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia diharapkan dapat menghadapi masa depan dengan persatuan dan keharmonisan yang kokoh.
Pendekatan yang serupa juga dilakukan oleh organisasi keagamaan terkemuka, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Haedar Nashir, sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menegaskan bahwa organisasi yang dipimpinnya akan tetap netral terkait usulan hak angket dalam sengketa Pemilu 2024 di DPR RI. Muhammadiyah akan mendukung penyelesaian masalah tersebut melalui jalur hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
Sikap netral Muhammadiyah juga sejalan dengan prinsip organisasi tersebut dalam menjaga stabilitas dan persatuan dalam masyarakat. Haedar Nashir menyoroti pentingnya memelihara kesatuan Indonesia, tanpa memandang pemenang atau pecundang dalam arena politik.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, atau Gus Yahya. Gus Yahya menegaskan agar isu Pilpres 2024 tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang sempit. Selain itu, dia juga mempertanyakan siapa yang menginisiasi wacana hak angket tersebut, mengingat anggota DPR sedang dalam masa reses.
Pentingnya sikap netral dan kedewasaan dari organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU tidak boleh diabaikan. Kedua organisasi ini memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam membentuk opini publik dan menyebarkan nilai-nilai moral.
Sikap netralitas ini juga merupakan bentuk komitmen untuk menjaga stabilitas sosial dan persatuan Sikap netralitas ini juga mencerminkan komitmen untuk menjaga stabilitas sosial dan persatuan bangsa di tengah kondisi politik yang mungkin memanas.
Dalam skala yang lebih luas, sikap Muhammadiyah dan NU ini juga dapat menjadi teladan bagi organisasi-organisasi lain dalam masyarakat sipil. Pentingnya mempertahankan independensi dan netralitas dalam menghadapi isu-isu politik yang sensitif tidak boleh diabaikan.
Di tengah dinamika politik dan polarisasi, sikap ini menjadi kunci untuk memperkuat fondasi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Dalam menghadapi masa depan pasca-Pemilu 2024, penting bagi kita semua untuk memperkokoh persatuan dan keberagaman sebagai salah satu pilar utama bangsa Indonesia. Rekonsiliasi dan membangun kebangsaan harus menjadi prioritas bersama untuk menyatukan perbedaan dan mengarahkan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan inklusivitas dalam setiap langkah kita. Dengan kesadaran akan pentingnya rekonsiliasi dan persatuan, kita dapat bersama-sama membangun Indonesia yang lebih kuat, damai, dan berkeadilan bagi semua warganya.
Semoga semangat persatuan dan persaudaraan yang telah kita tanamkan selama ini dapat terus berkembang dan menjadi landasan utama bagi kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Ayo kita jaga persatuan karena bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
*) Penulis merupakan Kontributor Persada Institute