Waspadai Pergerakan Eks HTI Pasca Pemilu 2024
Oleh : Shenna Aprilya Zahra )*
Saat ini dinamika sosial dan politik yang terus berkembang di Indonesia, peran masyarakat sipil dalam menghambat penyebaran ideologi radikal seperti Khilafah semakin menonjol. Salah satu organisasi yang menjadi sorotan utama adalah eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang secara terang-terangan memperjuangkan pendirian negara berdasarkan Khilafah di Indonesia.
Meskipun HTI telah dilarang sejak tahun 2017, kekhawatiran akan potensi eks anggota dan pendukungnya untuk terus menyebarkan ideologi radikal tersebut tetap ada.
HTI merupakan organisasi yang dilarang dengan agenda yang bersifat transnasional. Sejak beberapa dekade yang lalu, mereka telah giat dalam menyebarkan propaganda untuk mewujudkan Khilafah di Indonesia.
Pandangan mereka yang anti-demokrasi dan menentang aspek-aspek sosial, politik, dan keagamaan yang ada di Indonesia dengan menyematkan label kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme. Bagi HTI, Khilafah bukanlah sekadar keinginan, tetapi sebuah kewajiban yang harus ditegakkan.
Beberapa waktu lalu, terdapat informasi mengenai pelaksanaan acara perayaan Isra Miraj dengan tema 'Metamorfoshow' yang diselenggarakan oleh HTI di Taman Mini Indonesia Indah pada tanggal 17 Februari 2024.
Kehadiran HTI dalam kegiatan tersebut menunjukkan perlunya kewaspadaan terhadap upaya-upaya kamuflase yang diciptakan oleh organisasi keagamaan atau masyarakat untuk mengarahkan opini publik menjauhi demokrasi Indonesia dan memperkuat propaganda Khilafah.
Muhamad Syauqillah, seorang akademisi dari Universitas Indonesia, menekankan perlunya pemerintah untuk waspada terhadap upaya-upaya kamuflase yang dilakukan oleh HTI pasca Pemilu 2024. Meskipun HTI telah secara resmi dibubarkan oleh pemerintah, namun sel-sel mereka masih bertahan dengan kuat.
Ia menyoroti kembali munculnya HTI di tengah masa transisi kepemimpinan tahun 2024, dan menyatakan bahwa gerakan Khilafah ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Trend penurunan angka kejahatan terorisme yang terjadi belakangan ini tidak boleh membuat kita lengah, karena pemikiran radikalisme dan ekstremisme tetap membahayakan ideologi Pancasila dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Syauqillah juga menyoroti dampak era media sosial yang sangat bebas, yang membuat warga net rentan terpapar dengan agitasi dan propaganda dari kelompok radikalis dan ekstremis. Ia menekankan bahwa kelompok-kelompok yang paling rawan terhasut oleh propaganda ini adalah perempuan dan anak muda, khususnya generasi milenial dan Gen-Z, yang rentan menjadi sasaran rekrutmen bagi kelompok terorisme radikal.
Mohammad Iqbal Ahnaf, seorang akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, mengingatkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus tetap waspada terhadap narasi-narasi yang menggalakkan kebangkitan Khilafah. Ia menegaskan bahwa potensi ancaman dari ideologi transnasional tersebut akan selalu ada.
Gagasan Khilafah sering kali dianggap sebagai solusi atas segala masalah, dan hal ini dapat menarik bagi sebagian masyarakat, meskipun tidak semua mendukung kepemimpinan atau model pemerintahan Khilafah.
Untuk menangkal penyebaran ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keberagaman Indonesia, diperlukan upaya sinergis dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, LSM, institusi pendidikan, agama, dan masyarakat umum.
Melalui kerjasama yang kokoh, dapat diciptakan langkah-langkah preventif dan interventif yang efektif untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul dari paham radikal tersebut.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat peran institusi pendidikan dalam membentuk pemahaman yang kuat tentang toleransi, pluralisme, dan nilai-nilai demokrasi. Kurikulum yang inklusif dan pembelajaran yang interaktif dapat membantu mencegah munculnya sikap intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi muda.
Selain itu, peran agama juga penting dalam menanggulangi penyebaran ideologi Khilafah, dengan pendeta dan tokoh agama di tempat ibadah memiliki tanggung jawab untuk mendidik jamaahnya tentang pentingnya menjaga perdamaian dan menghormati perbedaan.
LSM dan organisasi masyarakat sipil juga perlu terus mengawasi dan memperjuangkan penegakan hukum terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas radikal. Dengan memantau dengan cermat perkembangan situasi, informasi yang akurat dapat disebarkan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh paham Khilafah.
Pemerintah juga memiliki peran sentral dalam menanggulangi radikalisme. Selain melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap kelompok-kelompok radikal, pemerintah juga perlu menggalakkan program-program deradikalisasi yang bertujuan untuk merehabilitasi eks anggota HTI dan individu lain yang terpapar paham radikal.
Pendekatan ini haruslah holistik, mencakup aspek-aspek psikologis, sosial, dan ekonomi guna memastikan reintegrasi yang berhasil ke dalam masyarakat.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan radikalisme harus menjadi prioritas utama bagi seluruh elemen masyarakat. Dengan meningkatkan kesadaran akan bahaya ideologi radikal dan memperkuat kerjasama antarlembaga dan antarindividu, kita dapat melindungi bangsa ini dari ancaman yang mengancam keutuhan dan kedamaian.
Sebagai warga negara, mari kita bersatu untuk menolak segala bentuk ekstremisme dan menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan keberagaman. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun Indonesia yang damai, stabil, dan berdaulat, serta melindungi generasi mendatang dari pengaruh negatif paham radikal. Bersama, kita dapat menghadapi tantangan ini dan meraih masa depan yang lebih baik untuk bangsa dan negara kita.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara