Sistem Perairan Subak Dengan Kearifan Lokal Opsi Tata Kelola Air di WWF Bali
Oleh : Candrasah Ayu)*
Indonesia memperkenalkan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10. Salah satu kearifan lokal dalam pengelolaan air tersebut adalah Subak di Bali.
Subak adalah sebuah organisasi yang dimiliki oleh masyarakat petani di Bali yang khusus mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan atau irigasi sawah secara tradisional. Subak bukan hanya sebuah sistem pengairan, tetapi juga mencerminkan filosofi dan kearifan lokal masyarakat Bali yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Krisis air telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah menyaksikan peningkatan konsumsi air yang tidak seimbang, polusi air, perubahan iklim, dan kerusakan ekosistem air yang mempengaruhi keberlanjutan sumber daya air kita.
Mengenai hal tersebut, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid menyebutkan Indonesia memiliki opsi yang berasal dari budaya dalam negeri bahwa masyarakat yang berada di hilir bisa merasakan manfaat pengelolaan air yang sifatnya berkelanjutan di hulu memberikan dukungan kepada masyarakat yang di hilir.
Sistem solidaritas yang dibangun itu sebetulnya juga jika diproyeksikan di masa sekarang dengan dukungan sains dan teknologi modern mungkin bisa menjawab sebagian persoalan pengelolaan air yang bijak dan lestari, Kearifan lokal di Bali diharapkan bisa mewarnai kebijakan tentang air di tingkat global pada World Water Forum (WWF) ke-10 ini.
WWF ke -10 yang tengah diadakan di Bali merupakan upaya kolaborasi tangguh mengatasi tantangan perubahan iklim dapat memperkuat konsensus politik di tingkat lokal, nasional, dan internasional di tengah ketidakpastian kondisi iklim di seluruh dunia.
High Level Meeting yang diadakan dalam WWF ke-10 di Bali merupakan pertemuan bersama penanggung jawab proses politik, tematik, dan regional serta pertemuan bilateral beberapa kepala negara menyangkut masalah air. Mulai dari pembahasan anggaran air sedunia, diplomasi air dan perdamaian hingga observatorium dunia untuk sumber daya air non-konvensional dan energi terbarukan yang nantinya dapat merumuskan suatu kebijakan resolusi pengelolaan air sedunia.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan berdasarkan hasil dari banyak analisa lembaga iklim dunia, kondisi iklim dan cuaca saat ini terus mengalami ketidakpastian salah satunya diakibatkan belum terkendalinya pembuangan gas rumah kaca CO2 di atmosfer.
Kondisi ketidakpastian tersebut mengakibatkan timbulnya cuaca ekstrem; baik kekeringan maupun hujan di atas kenormalan rata-rata yang dampaknya tidak hanya membuka peluang timbulnya degradasi sosial-kesehatan masyarakat tetapi juga mempengaruhi kondisi finansial atau ekonomi suatu negara.
Salah satu substansi penting WWF di Bali adalah Indonesia sebagai tuan rumah ataupun para delegasi lainnya untuk bersama – sama merumuskan gagasan ataupun komitmen yang bisa menjadi konsensus untuk mengatasi permasalahan tata kelola air maupun dampak yang ditimbulkan akibat kondisi iklim saat ini.
Dwikorita menilai konsensus yang mengikat itu adalah poin terpenting yang akan dihasilkan WWF Ke-10, karena artinya kepala negara-negara peserta sepakat untuk mengeksekusi segenap rencana aksi yang sudah disusun secara saintifik berbasis ekosistem dan peristiwa alam oleh negara masing-masing.
Adapun rencana aksi nyata tersebut menyangkut mitigasi perubahan iklim dan menghapus kesenjangan antara tantangan dan kapasitas masing-masing negara dalam hal pengelolaan sumber daya air, iklim, pangan, energi, dan kesehatan.
BMKG menyebut, peningkatan emisi gas rumah kaca menjadi penyebab utama krisis air. Ini berdampak pada peningkatan laju suhu udara yang mengakibatkan pemanasan global yang terus berlanjut hingga berdampak pada fenomena perubahan iklim.
Perubahan iklim ini nantinya memicu berbagai krisis, seperti krisis air, pangan, bahkan energi. Selain itu, frekuensi, intensitas, dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi turut meningkat. Apabila dibiarkan, BMKG menyebutkan krisis air akan menimbulkan dampak lainnya, yakni krisis pangan, krisis energi, dan krisis sosial. Menurut laporan World Meteorological Organization (WMO), berbagai krisis ekstrem ini telah terjadi di berbagai belahan dunia.
Oleh karena itu, mitigasi dan adaptasi secara sistematis terhadap isu-isu yang berkaitan dengan air sangat diperlukan. Ini dilakukan melalui observasi, monitoring, dan pengumpulan data. Data-data yang telah dikumpulkan kelak menjadi landasan bagi para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan terhadap krisis air. Data tersebut pun bisa menjadi acuan untuk melakukan mitigasi sebelum bencana datang.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai bagian dari mitigasi krisis air, antara lain sebagai berikut. Pertama, menghemat air. Salah satu langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan tidak melakukan pemborosan pada penggunaan air. Kita bisa mematikan kran atau saluran air ketika tidak digunakan. Selain itu, manfaatkan air yang dapa digunakan kembali, misalnya air cucian beras untuk menyiram tanaman.
Selanjutnya, tidak membuang sampah di saluran air. Membuang sampah di saluran air berdampak pada kurangnya kualitas air. Sehingga, air yang didapat tidak bersih. Oleh sebab itu, membuang sampah pada tempatnya merupakan langkah yang bijak untuk mengatasi masalah ini.
Lalu, melakukan reboisasi. Dalam hal ini pohon memiliki peran penting sebagai mitigasi krisis air. Akarnya berfungsi untuk menyerap air ke dalam tanah. Semakin banyak pohon yang ditanam, cadangan air yang tersimpan akan semakin banyak. Terakhir, membuat tempat penampungan hujan. Selain reboisasi, menampung air hujan dapat menjadi alternatif lain. Membangun tempat penampungan air hujan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kesediaan air. Terlebih, ini juga sebagai langkah mencegah krisis air.
)* Penulis merupakan pemerhati lingkungan