Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Urgensi Pengesahan RKUHP Demi Ciptakan Sistem Hukum Modern


Oleh : Abdul Rozak )*

Demi terus mendorong terciptanya sistem hukum di Indonesia dengan paradigma modern, tentu sangat penting untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pengesahan ini penting untuk menggantikan posisi KUHP peninggalan kolonial Belanda karena sama sekali tidak sesuai dengan dinamika perubahan jaman.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej memaparkan tiga alasan RKUHP mendesak untuk segera disahkan. Alasan pertama, KUHP yang digunakan dalam penegakan hukum di Tanah Air saat ini sudah disusun pada tahun 1800 atau telah berusia sekitar 222 tahun, sehingga aliran hukum pidana yang dianut adalah aliran klasik.

Padahal, aliran pidana klasik lebih menitikberatkan pada kepentingan individu sehingga diperlukan KUHP yang baru melalui pengesahan RKUHP untuk menggantikan aliran tersebut. Karena sama sekali paradigma mengenai penegakan hukum tidak akan bisa terus dilakukan jika masih mempertahankan aliran klasik itu.

Alasan kedua, mengenai urgensi mengapa RKUHP memang harus segera disahkan untuk menggantikan posisi KUHP lama peninggalan Belanda adalah KUHP yang ada ini sudah out of date, tidak lagi up to date. Oleh karena itu, harus segera ada penyusunan yang baru dengan berorientasi pada hukum pidana modern

Wajar saja jika penerapan KUHP lama sama sekali tidak relevan lagi, bagaimana tidak, karena dinamika perubahan sosial masyarakat sangatlah cepat belakangan ini. Jika masih terus memaksakan menggunakan KUHP peninggalan kolonial tersebut, tentu penerapan keadilan tidak akan bisa secara maksimal dilakukan.

Lebih lanjut, ia menyampaikan hukum pidana modern merupakan aliran hukum yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Sehingga orientasi utamanya sangatlah berbeda dengan penerapan hukum klasik yang terkesan memang bertujuan untuk menghukum, bukannya malah memberdayakan dan mendidik agar seseorang bisa berubah.

Selanjutnya, alasan yang ketiga adalah KUHP yang digunakan saat ini oleh para penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak menjamin kepastian hukum. Adapun penyebab KUHP yang digunakan saat ini tidak dapat menjamin kepastian hukum adalah keberadaan banyak ahli yang menerjemahkan nya dengan hasil terjemahan yang berbeda-beda.

Banyaknya versi terjemahan dari KUHP lama dikarenakan memang sama sekali tidak terdapat draft, kecuali hanya berbahasa Belanda saja. Sehingga tentunya sangat dibutuhkan bantuan pemahaman para ahli bahasa untuk menafsirkannya, hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia. Maka tak heran sejauh ini banyak sekali adanya pasal-pasal karet yang multitafsir.

Dengan semakin banyak penerjemah yang berusaha untuk menerjemahkan dan memahami apa maksud KUHP lama peninggalan Belanda itu, tentunya di dalamnya sama sekali tidak akan ada kepastian hukum yang jelas. Padahal seharusnya hukum harus benar-benar secara pasti dan jelas mengatur sesuatu.

Sebagai informasi, beberapa penerjemah tersebut yakni; Prof. Moeljatno dari UGM, ada juga yang diterjemahkan oleh Prof. Andi Hamzah, beliau dari Unhas. Ada juga yang ditulis oleh R. Soesilo. Kalau Prof. Andi Hamzah menulis itu bersama kakaknya, yaitu Prof. Zainal Farid. Celakanya, antara satu KUHP dengan KUHP yang lain itu ada perbedaan terjemahan sehingga menjadi semakin sulit dalam penerapan pedoman sistem hukum Tanah Air.

Wamenkumham mencontohkan perbedaan terjemahan KUHP dari para ahli hukum itu adalah terkait dengan Pasal 362 KUHP. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa seseorang yang mengambil barang ataupun sesuatu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Namun ternyata, dalam pasal itu, Prof. Moeljanto menerjemahkan sebagai tindakan melawan hukum, tapi R. Soesilo menerjemahkan nya sebagai melawan hak. Dua hal itu serupa, tapi tidak sama. Melawan hak pasti melawan hukum, tapi melawan hukum belum tentu melawan hak.

Sementara itu, dalam rangka melakukan pembaharuan sistem hukum supaya pemberlakukan RKUHP benar-benar sesuai dengan dinamika perubahan hukum modern belakangan ini, Kemenkumham mengajak setiap golongan masyarakat, termasuk mahasiswa untuk aktif dalam ruang diskusi.

Prof. Edward juga mengajak agar mahasiswa dapat memahami bahwa dalam proses penyusunan, RKUHP selalu menjunjung nilai-nilai keindonesiaan. Hal ini merupakan upaya dari dekolonialisasi dan modernisasi dalam sistem pidana Indonesia. Selain itu RKUHP juga tidak hanya fokus pada pelaku dan perbuatan yang dilakukan, tetapi juga menyesuaikan dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

Semakin jelas mengenai urgensi atau bagaimana pentingnya segera dilakukan pengesahan RKUHP untuk mampu menciptakan sistem hukum di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip yang jauh lebih modern. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa KUHP lama peninggalan Belanda sudah sangat ketinggalan jaman dan banyak nilai-nilai di dalamnya tidak sesuai dengan bagaimana penerapan paradigma hukum terbaru.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Insitute