Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wujudkan Pemilu Damai dan Tolak Politisasi Agama

Oleh : Haikal Fathan Akbar )*

Wujudkan Pemilu damai, penolakan terhadap politisasi agama merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan seluruh elemen masyarakat.

Adanya pesta demokrasi di Indonesia dengan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) secara serentak yang akan segera dilangsungkan pada tahun 2024 mendatang memang sudah mulai ditabuhkan dengan dimulainya seluruh proses tahapan Pemilu 2024 bahkan sejak tanggal 14 Juni 2022 lalu.

Pemilu sendiri merupakan sebuah instrumen sekaligus bentuk wujud nyata dari diberlakukannya sistem demokrasi di Indonesia. Pasalnya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa ini merupakan sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.

Awal mula tercetusnya hal tersebut berasal dari para pendiri bangsa, salah satunya adalah pemikiran Bung Hatta, yang mana beliau merupakan sosok proklamator bangsa ini. Beliau menyatakan bahwa demokrasi yang dianut oleh Indonesia sama sekali berbeda dengan sistem demokrasi yang dianut oleh sistem di model negara Barat.

Bagaimana tidak, lantaran kedaulatan rakyat di negara Barat memang hanya terjadi dalam ranah politik saja, sedangkan jika dibandingkan di Indonesia, kedaulatan rakyat sendiri juga mencakup pada bidang sosial serta ekonomi.

Pembedaan ini dipandang perlu oleh Hatta, sebab demokrasi di Barat dilakukan dalam rangka individualisme, sementara kehidupan ekonomi dikuasai oleh kaum kapitalis yang masih tergolong minoritas. Sebaliknya, demokrasi Indonesia dibangun dari dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan yang sangat menekankan musyawarah dan mufakat, hak-hak rakyat, cita-cita tolong menolong.

Dalam kurun waktu yang memang sebentar lagi bahwa Indonesia akan segera melangsungkan pesta demokrasi Pemilu pada tahun 2024 mendatang, maka hal tersebut memang harus bisa diwujudkan dengan sangat baik. Merujuk dari bagaimana pengalaman penting tatkala berlangsungnya Pemilu pada tahun 2019 silam, telah banyak sekali pelajaran penting mengenai betapa rentannya masyarakat di Indonesia pada adanya ayunan politisasi yang bahkan juga dengan sengaja dimainkan oleh poros-poros kekuasaan di negeri ini.

Kenyataan tersebut juga diperparah dengan bagaimana perkembangan dan kemelesatan arus informasi pada dunia yang serba digital dan canggih seperti sekarang ini. Terkait hal itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Tutus Warsito mengemukakan bahwa adanya polemik yang terjadi pada Pemilu 2019 dikarenakan banyak hal yang saling berkaitan.

Salah satunya adalah adanya kerapuhan akan budaya baru dalam praktik berkomunikasi yang memang sampai saat ini masih belum terbangun. Di satu sisi justru ada kuatnya energi kepentingan yang bekerja di balik perkubuan politik menjadikan adanya 3 (tiga) rangkaian pemilu justru menjadi sangat rawan akan adanya politik identitas di Tanah Air.

Tutus Warsito menyinggung, pilihan elit menggunakan politisasi identitas sebagai sarana mobilisasi politik yang menerjang hampir semua norma kesantunan sosial di masyarakat.

Dengan masih terjadinya praktik politisasi agama, maka menurut akademisi tersebut setidaknya memang terdapat 4 (empat) hal yang menunjukkan betapa tingginya pragmatisme yang dimiliki oleh para elit politik di Indonesia. Kemudian hal kedua adalah sangat rendahnya etika politik di Tanah Air, ketiga, masih lebihnya daya kritis dari publik sehingga dengan sangat mudah dimanipulasi akan adanya politik identitas dan yang keempat adalah lemahnya kepercayaan sosial, nilai hidup bersama dan konsolidasi sosial antar warga negara.

Sementara itu, Mantan Rektor Universitas Janabadra (UJB) Yogyakarta, Prof. Cungki Kusdijarto mengungkapkan bahwa pada Pemilu 2024 mendatang, yang merupakan pesta demokrasi keenam pasca Reformasi, ternyata terus dihadapkan pada tantangan yang sama, yakni adanya potensi politik identitas dan juga politisasi agama.

Menurutnya, jika ditelusuri, memang sentimen politik identitas, manipulasi informasi melalui hoaks, politisasi tempat ibadah dan lembaga publik hingga adanya kekerasan disik masih saja terjadi. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa berbagai ancaman tersebut memang nyata terlebih dengan semakin tersebarnya hoaks di era kecanggihan teknologi informasi.

Banyaknya ancaman yang terjadi, menurut Prof. Cungki ternyata bisa saja dilawan. Adanya politik identitas tersebut ternyata tidak akan berdaya apabila harus menghadapi publik yang memang resiliens terhadapnya. Sehingga sangat perlu dicari model dan cara untuk membangun sebuah masyarakat yang resiliens terhadap manipulasi dan politisasi identitas.

Beberapa diantaranya yakni adanya jaminan pelindungan akan hak-hak dasar warga negara, khususnya mengenai kebebasan beragama, kemudian semua pihak harus kembali berpolitik dengan etis. Masyarakat pun turut mendukung upaya KPU, Bawaslu Pemerintah dan aparat keamanan untuk bisa mewujudkan Pemilu yang demokratis dan menjunjung Pancasila.

Politisasi akan identitas, yang mana meliputi adanya Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) memang harus bisa ditolak dengan tegas oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya Indonesia sendiri memang memiliki keberagaman yang sangat banyak, sehingga akan sangat rentan apabila hal-hal mengenai identitas justru dimanfaatkan sebagai senjata politik. Maka dari itu, seluruh elemen masyarakat harus turut serta dalam mewujudkan Pemilu damai.

)*  Penulis adalah Kontributor Vimedia Pratama Institute